Pengamat: Wacana Insentif Mobil Listrik Harusnya Sasar Transportasi Umum Terlebih Dahulu
Pemerintah Indonesia dapat berkaca dari pengalaman India yang memberikan insentif kendaraan listrik melalui skema FAME
Penulis: Lita Febriani
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lita Febriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah berencana memberi insentif Rp 80 juta untuk pembelian mobil listrik, Rp 40 juta untuk pembelian mobil listrik berbasis hybrid, Rp 8 juta untuk pembelian sepeda motor listrik yang baru dan Rp 5 juta untuk sepeda motor konvensional yang dikonversi menjadi motor listrik.
Langkah pemberian insentif terhadap mobil listrik dinilai kurang tepat, dimana lebih baik subsidi diberikan untuk pembelian sepeda motor listrik.
Lalu, kebijakan yang lainnya yang dapat mempercepat netralitas karbon ialah pemberian insentif terhadap pengadaan bus hingga angkutan kecil di perkotaan berbasis listrik akan mendukung terciptanya transportasi publik rendah emisi.
Baca juga: Insentif Mobil Listrik Belum Dianggarkan, Menperin: Pemerintah akan Minta Izin DPR
Peneliti Muda Sistem Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Energi Terdistribusi IESR Faris Adnan, mengungkap Pemerintah Indonesia dapat berkaca dari pengalaman India yang memberikan insentif kendaraan listrik melalui skema The Faster Adoption and Manufacturing of Electric Vehicles (FAME).
Dimana di dalam skema tersebut, insentif bus lebih besar dibandingkan mobil pribadi.
"Apabila kita membahas mobilitas di perkotaan (urban mobility), terdapat kerangka Avoid (hindari), Shift (alihkan), Improve (tingkatkan). Dengan framework (kerangka) tersebut, selain menggunakan kendaraan listrik untuk kendaraan pribadi, pemerintah dapat membangun transit oriented city (kota yang ramah pejalan kaki dan transportasi publik) dan menggunakan transportasi umum berbasis listrik. Dari pengalaman yang sudah ada, dengan hanya menggunakan framework avoid dan shift tersebut bisa menurunkan emisi antara 40-60 persen. Untuk itu, transportasi umum perlu disubsidi," tutur Faris dalam diskusi Insentif Jumbo Kendaraan Listrik, Senin (19/12/2022).
Selain itu, IESR mendukung pemerintah apabila penyaluran insentif dilakukan untuk proses konversi dari motor konvensional menjadi motor listrik.
Proses konversi terutama perlu dilakukan pada kendaraan berusia 6-7 tahun dengan kondisi badan motor yang bagus sehingga yang perlu diganti hanya mesinnya dan pemasangan baterai.
Dengan asumsi motor yang dikonversi adalah yang sudah melewati usia 10 tahun, diperkirakan ada 6 juta motor per-tahun yang siap di konversi.
Berdasarkan survei yang dilakukan IESR, tarif konversi kendaraan listrik roda dua termurah ada di angka Rp 10 juta dan termahal Rp 30 juta dengan kisaran rata-rata di rentang Rp 15 juta - Rp 23 juta.
Baca juga: IESR Sebut Insentif Rp80 Juta untuk Pembelian Mobil Listrik Tidak Tepat, Lebih Baik Fokus Roda Dua
Survei IESR juga menunjukkan keinginan untuk membayar (willingness to pay) masyarakat Indonesia untuk mengonversi kendaraan konvensional menjadi motor listrik ada di kisaran Rp 5 juta - Rp 8 juta per-unit.
Untuk itu, pemerintah harus memikirkan skema tambahan untuk membuat konversi motor listrik menjadi lebih murah.
"Dengan adanya insentif, anggaplah kita bisa memangkas Rp 5 juta sehingga harga rata-rata konversi kendaraan listrik dari Rp 15 juta - Rp 23 juta menjadi di rentang Rp 10 juta - Rp 18 juta untuk motor listrik yang menggunakan sistem penggantian baterai. Jika pada sistem yang tidak perlu membeli baterai maka harganya dapat dikurangi lagi sebesar Rp 6 juta - Rp 8 juta. Dengan begitu, harga konversi motor listrik tanpa pembelian baterai bisa menjadi Rp 4 juta - Rp 10 juta yang berarti sudah masuk dalam angka willingnes to pay masyarakat," jelas Faris.