Arif Wibowo: KPU Bisa Dipidana karena Legitimasi Pemilih Fiktif
Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana mengesahkan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014, pada Rabu (4/12/2013) besok.
Penulis: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com Yogi Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana mengesahkan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014, pada Rabu (4/12/2013) besok.
Namun, KPU diminta berpikir bijaksana ketika diyakini masih ada calon pemilih dalam DPT yang ternyata bermasalah.
Saat KPU menetapkan 186 juta sekian DPT, ada 10.4 juta pemilih dengan Nomir Induk Kependudukan (NIK) invalid. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI kemarin, KPU berhasil menemukan NIK dari 6.5 juta pemilih. Sisanya NIK 3.9 juta pemilih invalid.
Politikus PDI Perjuangan Arif Wibowo mengakui, masih mendapati adanya pemilih fiktif sekitar 20 persen dari 186 juta DPT. Kendati, KPU tetap meyakini dari 186 juta pemilih, hanya 10.4 juta pemilih dengan NIK invalid (NIK 6.5 juta pemilih valid dan sisanya invalid).
"Silakan KPU pikirkan secara bijaksana. Tapi menurut kami, sejauh belum bisa diyakini semua pihak, terutama pemangku kepentingan yaitu partai peserta pemilu, jangan dulu ditetapkan. Kalau KPU bersikukuh tetapkan silakan saja," ujar Arif di Jakarta, Senin (2/12/2013).
Menurutnya, KPU berwenang menetapkan DPT. Tapi, ia memberi catatan, kalau kewenangan itu diambil tapi melegalisasi pemilih fiktif, sama saja dengan melanggar undang-undang.
Selain itu, langkah KPU tersebut sama artinya dengan meniadakan pemilih yang memunyai hak memilih.
"Kami khawatir, KPU akan dikenakan tindak pidana penghilangan hak pemilih yang diatur dalam undang-undang pemilu. Kalau kemudian melanggar hak konstitusional bisa diseret ke Mahkamah Konstitusi. Tentu saja dengan pelanggaran masif itu KPU bisa dilaporkan ke DKPP," tambahnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini mengakui, PDI Perjuangan belum mengakumulasi semua data pemilih yang fiktif. Tapi, ia mencontohkan, temuan pemilih bermasalah di Provinsi DKI saja sangat variatif. Misalnya ada satu kelurahan sampai 70 persen fiktif.
"Untuk menarik kesimpulan berapa rata-rata yang fiktif, kami tidak mau gegabah. Tapi dari pergerakannya saja dengan contoh Jakarta, kurang lebih bisa dihitung 15 persen dari DPT bermasalah. Jadi sekitar 20 persen kurang lebih besar fiktif," terangnya.
Pemberesan pemilih fiktif ini menjadi penting agar tidak ribut di kemudian hari terutama pada Pemilu Presiden 2014 nanti. Arif beralasan, DPT untuk Pemilu Legislatif 2014 akan dijadikan DPT untuk Pilpres 2014.
"Kalau DPT Pileg berantakan, percayalah DPT Pilpres pasti jauh lebih berantakan. Karena ketersediaan waktunya tak panjang, hanya tiga bulan. Tentu itu tak bisa optimal. Satu-satunya ruang yang mungkin, DPT dibereskan sebelum tahapan pilpres," terangnya.