Pengamat: Moratorium Iklan Kampanye dan Politik Baik untuk Keadilan Publik
moratorium iklan politik baik untuk keadilan akses, menegakkan UU Penyiaran serta sesuai perasaan sosiologis
Penulis: Y Gustaman
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar komunikasi politik Universitas Indonesia, Effendi Gazali, menilai moratorium iklan kampanye dan politik yang diteken lewat Surat Keputusan Bersama Gugus Tugas Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran dan Iklan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak akan efektif.
Bertempat di Gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat (28/2/2014), Gugus Tugas yang terdiri dari Badan Pengawas Pemilu, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Informasi Pusat, menandatangani SKB tentang Kepatuhan Ketentuan Pelaksanaan Kampanye Melalui Media Penyiaran.
"Secara hukum, moratorium ini bisa dilanggar kapan saja karena pasti akan kandas kalau dibawa ke pengadilan. Sebab Undang-Undang No 8 Tahun 2012 yang dibuat DPR punya perasaan tersendiri terhadap makna iklan dan kampanye, yaitu harus Kumulatif yakni ada visi, misi, dan program," ujar Effendi saat dihubungi di Jakarta, Jumat (28/2/2014) malam.
Effendi mengaku bersama Professor Hamdi Muluk diundang menghadiri focus group discussion yang diselenggarakan Bawaslu di Hotel Grand Sahid sore tadi.
Topik yang diulas menyoal, 'Unsur-unsur Tindak Pidana Pemilu dan Implementasinya.' Contoh-contoh kasus yang diambil adalah soal Kampanye pemilu.
Menurutnya, forum yang dihadiri dari unsur Gakumdu Pemilu 2014 seperti Bawaslu, Polri dan Kejaksaan, juga Komisi II DPR RI, KPI, KPU, seluruh wakil-wakil parpol perserta pemilu jatuh pada kesimpulan, iklan atau kampanye dikatakan melanggar sepanjang memenuhi unsur kumulatif di mana kegiatan yang dilakukan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program peserta pemilu.
"Tapi, moratorium baik untuk keadilan akses, menegakkan UU Penyiaran (karena menggunakan frekuensi publik), serta sesuai perasaan sosiologis, perasaan psikologis, dan rasa keadilan pubik," sambung Effendi. Menurutnya, seluruh aneka bentuk iklan politik asal kurang satu unsur, tidak terhitung kampanye.
Meski belum diketahui di mana letak moratorium yang mau dituju Gugus Tugas, Effendi mendorong masyarakat harus terus melaporkan pada Bawaslu untuk dua tujuan. Pertama, menunjukkan siapa yang lebih cerdas soal definisi iklan dan kampanye, publik atau DPR RI sebagai pembuat undang-undang.
"Kedua, laporan ini untuk menunjukkan bahwa masyarakat care terhadap keadilan akses media. Kedua hal ini mendukung secara empirik moratorium tadi walau tidak mendapat dukungan aspek hukum positif. Memang, FGD tadi melahirkan bukan kesepakatan, tapi kesadaran terhadap realitas mutu Undang-Undang Pemilu yang dihasilkan DPR," tegasnya.
Dalam SKB-nya, Gugus Tugas meminta lembaga penyiaran dan peserta pemilu untuk menghentikan penyiaran iklan politik dan iklan kampanye pemilu sebelum jadwal pelaksanaan kampanye pemilu melalui iklan media elektronik seperti diatur dalam Pasal 83 ayat (2) UU No 8 Tahun 2012 dan Peraturan KPU, yakni terhitung 16 Maret hingga 5 April 2014.