AJI Imbau Jurnalis dan Pimpinan Media Patuhi Pedoman Perilaku
Kampanye terbuka akan dimulai akhir pekan ini hingga awal April.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA.- Pemungutan suara pada pemilihan umum (Pemilu) calon legislatif pada tanggal 9 April 2014 tak sampai satu bulan lagi. Kampanye terbuka akan dimulai akhir pekan ini hingga awal April.
Di saat hari pemungutan suara semakin dekat dan gegap gempita kampanye serta maneuver politik peserta pemilu semakin terasa, jurnalis dituntut untuk lebih professional dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Sikap profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik ialah dengan menerapkan pedoman perilaku jurnalis dalam peliputan pemilu. Pedoman perilaku adalah ketentuan yang lebih detil dari kode etik jurnalistik. Di dalam pedoman perilaku diatur sikap dan tindakan yang diperbolehkan dan dilarang bagi jurnalis, termasuk pada saat pemilu.
Jelang pemilu 2014 ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta telah menyusun pedoman perilaku jurnalis. Dalam pedoman perilaku selama pemilu, secara umum, jurnalis harus senantiasa menghindari konflik kepentingan, menjaga integritas dan kredibilitas dirinya dan medianya pada saat melakukan peliputan pemilu.
“Kami mengajak jurnalis dan pimpinan media untuk menjadikan pedoman perilaku ini sebagai rujukan penting untuk mempertahankan sikap profesional pada saat pemilu 2014,” kata Dian Yuliastuti, Sekretaris AJI Jakarta, Jumat (14/3).
Selain memuat perilaku dalam meliput pemilu, di dalam pedoman perilaku jurnalis tersebut juga diatur sejumlah isu penting di kalangan jurnalis. Di antaranya prinsip berperilaku dengan narasumber, prinsip meliput isu ekonomi, terorisme hingga bencana dan peristiwa traumatik, prinsip menjaga batasan dengan iklan dan pemasaran, hingga seputar fasilitas liputan dan hadiah.
Penyusunan pedoman perilaku ini diinisiasi oleh majelis etik AJI Jakarta dan didanai oleh Yayasan TIFA. Selama proses penyusunan, AJI Jakarta telah melibatkan hamper semua organisasi jurnalis.
Di antaranya Dewan Pers, AJI Indonesia, IJTI, ATVSI, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan beberapa perusahaan media di Jakarta dan daerah. Pada pekan ini, pedoman perilaku jurnalis mulai disosialisasikan di berbagai daerah, yakni di Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar.
Majelis Etik AJI Jakarta ialah Endy Bayuni (Redaktur Senior dan mantan pemimpin redaksi The Jakarta Post), Heru Hendratmoko (Pemimpin Redaksi PortalKBR.com), Nezar Patria (Anggota Dewan Pers), Bina Bektiati (Tempo), Solahuddin (penulis, mantan Sekjen AJI Indonesia).
Berikut ini adalah nukilan lengkap pedoman perilaku jurnalis dalam pemilu:
A. Liputan Pemilihan Umum
Mempertahankan objektivitas, imparsialitas, dan keberimbangan merupakan tantangan sehari-hari bagi jurnalis professional. Tantangan itu makin besar selama perhelatan pemilihan umum, ketika kepentingan untuk memanipulasi media bisa datang dari dalam (manajemen/pemilik media) maupun dari luar media (peserta pemilu).
Pada saat pemilu, media dan jurnalis juga punya tanggung jawab untuk menyajikan fakta, pendapat, dan ide yang penting dan relevan bagi warga/pemilih agar tidak keliru dalam menentukan pilihan. Fakta yang disajikan harus komprehensif, degan memastikan bahwa ideologi, visi, dan misi partai/kandidat utama (yang berpeluang memperoleh suara signifikan) bisa diketahui publik/pemilih.
Pada saat yang sama, peran jurnalis/media penting untuk menjembatani pemilih dengan calon pemimpin politik agar kepentingan orang biasa bisa didengar para pemimpin politik/calon pemimpin politik.
1. Sebagai warga negara, jurnalis punya hak untuk berpendapat dan memberikan suara dalam pemilu. Tapi, sepanjang menjalankan pekerjaan jurnalistiknya, jurnalis tidak boleh partisan (memihak pada salah satu partai atau kandidat tertentu). Untuk itu, jurnalis tidak boleh meliput/menulis/mengedit berita/opini tentang partai/kandidat yang kemungkinan besar akan dia pilih.
2.Media/jurnalis memisahkan dengan jelas dan tegas berita/program/karya jurnalistik dari opini politik dan iklan politik.
3. Media/jurnalis menyediakan ruang liputan yang fair bagi semua partai dan kandidat utama (yang berpeluang untuk meraih suara signifikan). Partai gurem yang memiliki program yang jelas untuk kepentingan publik juga berhak mendapat ruang liputan.
4.Media/jurnalis harus berhati-hati agar tidak menjadi corong salah partai atau kandidat tertentu. Untuk itu, jurnalis harus selalu menguji setiap klaim atau janji kampanye kandidat/partai tertentu dan menyampaikan kepada khalayak secara gambling dan sesuai konteksnya. .
5.Media/jurnalis berupaya mengungkap rekam jejak para kandidat (utama) dan mengkritisi program/klaim partai/tim sukses sepanjang masa kampanye.
6. Jurnalis tidak boleh menjadi bagian (sebagai pemain) dalam semua tahapan pemilu, dari menjadi kandidat, tim sukses, menjadi pembicara dalam kampanye, menggalang dana, memakai atribut terkait partai/kandidat tertentu.
7.Untuk menghindari konflik kepentingan, jurnalis tidak meliput, menulis, mengedit berita/opini tentang kandidat yang memiliki hubungan persahabatan atau keluargaan dengan si jurnalis.
8.Jurnalis yang menjadi kandidat atau tim sukses salah satu kandidat harus non aktif sebagai jurnalis sejak pendaftaran dirinya sebagai calon/tim sukses.
9.Jurnalis tidak boleh mencari/memfasilitasi iklan politik dari partai/kandidat yang bersaing atau dari individu/kelompok pendukung satu kandidat.
10.Perusahaan media secara internal harus memberikan jaminan bagi jurnalisnya untuk terlepas dari tekanan pemasang iklan politik.
B. Jajak Pendapat (Polling)/Survey
Jajak pendapat (polling) semakin popular dalam setiap pemilihan umum di Indonesia. Makin banyak saja lembaga yang menjarig opini publik tentag popularitas calon/partai dan kecedrungan pemilih. Sepanjang proses pemilu, jajak pendapat tak bisa diabaikan begitu saja. Publik juga berhak mengetahui hasil jajak pendapat itu. Tapi, hasil jajak pendapat tidak boleh ditelan mentah-mentah.
Media/jurnalis harus memberitakan hasil survey/polling politik secara kritis dan menyajikannya sesuai konteks. Yang perlu diingat, hasil polling bisa keliru.
Bahkan, tidak mustahil ada lembaga polling yang sengaja menyajikan informasi yang menyesatkan utuk keuntungan pihak tertentu. Untuk itu, ada beberapa pedoman untuk memberitakan hasil polling.
1.Pilihlah lembaga polling/survey yang kredibel dan punya rekam jejak yang bagus.
2.Kenali mana lembaga polling yang bekerja secara indepeden dan mana lembaga yang bekerja untuk pemenangan kandidat/partai tertentu.
3.Usahakan tidak membuat berita anya berdasarkan hasil satu lembaga polling,. Cari pembanding.
4. Laporkan hasil polling dalam kontkes yang lebih besar atau dalam tren yang lebih panjang. Tren bisa dilihat dari hasil jajak pendapat sejumlah lembaga utama untuk periode tertentu. Hasil polling yang menyimpang dari tren tanpa penjelasan yang meyakinkan harus diwaspadai dan diperlakukan dengan skeptis.
5.Jangan mengandalkan pada interpretasi lembaga polling, periksa daftar pertanyaan, bandingkan dengan hasilnya,dan tren hasil polling lain.
6.Laporkan waktu pelaksanaan jajak pendapat dan perhatikan peristiwa penting yang kemungkinan besar mempengaruhi hasil jajak pendapat itu.
7. Laporkan metode jajak pendapat, cara pengambilan sampel, keterbatasan, serta margin of error.
8.Jelaskan profil lembaga pelaksana jajak pendapat, lebih baik bila bisa mengungkap siapa penyandang dananya.
C.Menggunakan Hak Berpolitik
1.Jurnalis tidak diperbolehkan aktif di ranah politik. Jurnalis berhak untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih/memberikan suara, tetapi ia tidak diperbolehkan melakukan apapun yang mungkin menimbulkan pertanyaan tentang netralitas dan profesionalitasnya.
Misalnya, mereka dilarang berkampanye, menunjukkan keberpihakkannya, atau mendukung calon, mencarikan tambahan suara dan semacamnya.
2.Jurnalis sebaiknya tidak memakai logo/pin atau atribut lain yang membuatnya terlihat seperti partisan dalam politik. Ia harus mengingat bahwa stiker yang tertempel pada mobil keluarga atau tanda kampanye di halaman rumah mereka mungkin diterjemahkan secara salah oleh pihak luar, tak peduli siapapun yang menempelkan stiker tersebut.
3.Jurnalis dilarang memberikan atau mengumpulkan dana untuk kandidat politik atau kegiatan pemilu. Mengingat kemudahan akses internet di era ini yang memungkinkan publik mencatat apapun yang dilakukan dan diucapkan jurnalis di media sosial, ada risiko yang besar untuk mensiratkan kesan bahwa ia memihak pihak tertentu.
4.Jurnalis dilarang menduduki jabatan publik. Mencari atau menduduki posisi tertentu di kantor publik jelas melanggar sikap profesional yang diharapkan ada dalam seorang jurnalis. Situasi ini memungkinkan terjadinya pemaksaan pendapat dalam pemberitaan media dan menimbulkan kecurigaan bahwa media itu memiliki narasumber/departemen favorit dalam liputan politiknya.
5. Jurnalis harus peka bahwa aktivitas politik pasangan, keluarga atau sahabat mereka dapat menimbulkan konflik kepentingan atau kemungkinan munculnya konflik. Ketika kemungkinan seperti itu muncul, jurnalis perlu memberitahu atasannya.
6. Jurnalis yang memiliki keraguan tentang kegiatan politik yang mereka hadapi, ia harus berkonsultasi dengan atasan atau organisasi profesi. Sejumlah pembatasan semacam ini semata-mata untuk melindungi misinya sebagai wartawan.