Awas, Mobilisasi Pemilih Khusus oleh Kepala Desa dan Lurah
Kesempatan itu tidak hanya diberikan kepada mereka yang terdaftar dalam DPT, tetapi juga yang gagal didaftar oleh penyelenggara.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi (SIGMA), Said Salahuddin, mengatakan Undang-undang Pemilu memberikan kesempatan yang begitu luas kepada masyarakat untuk bisa memilih dalam Pemilu.
Kesempatan itu tidak hanya diberikan kepada mereka yang terdaftar dalam DPT, tetapi juga kepada masyarakat yang gagal didaftar oleh penyelenggara.
Menurutnya, ada dua kategori untuk pemilih tidak terdaftar atau yang diistilahkan oleh KPU sebagai pemilih khusus. Pertama, pemilih khusus beridentitas. Pemilih pada kategori ini adalah mereka yang memiliki identitas kependudukan dan dipersyaratkan untuk menunjukkan KTP kepada KPPS saat akan menggunakan hak pilihnya di TPS.
Kedua, pemilih khusus tanpa identitas. Mereka ini adalah warga yang tidak memiliki KTP. UU tetap menjamin kepada mereka untuk menggunakan hak pilihnya. Oleh KPU, pemilih pada kategori ini hanya dipersyaratkan untuk mendapatkan surat keterangan dari kepala desa atau lurah.
"Problemnya, surat keterangan itu rawan penyimpangan. Kepala desa dan lurah bisa memanfaatkan kewenangan mengeluarkan surat keterangan tersebut untuk memobilisasi masyarakat. Surat keterangan itu kan bisa dibuat dalam hitungan menit. Berbeda dengan KTP yang pembuatannya memerlukan waktu yang relatif lama. Pemilih yang telah memiliki identitas pun bisa dengan mudah mengaku bahwa dirinya belum memiliki KTP," kata Said kepada Tribunnews.com, Sabtu (5/4/2014).
Said menuturkan, celah inilah yang bisa dimanfaatkan oleh kepala desa dan lurah. Menurutnya, masyarakat bisa digerakan, dikumpulkan, dipindahkan, serta digiring untuk memberikan suara, baik di TPS-TPS yang ada di desa dan kelurahan bersangkutan atau ke TPS-TPS di wilayah yang lain, berbekal surat keterangan yang dibuat oleh kepala atau lurah itu.
"Ini sangat mungkin terjadi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lurah, khususnya kepala desa, seringkali digunakan oleh partai politik dan para calon sebagai mesin keruk suara pemilih dalam setiap Pemilu," tuturnya.
Said mengungkapkan, sedikitnya ada empat kondisi yang menjadi indikator dan potensial menyebabkan terjadinya mobilisasi pemilih khusus tanpa identitas oleh kepala desa atau lurah. Pertama, ada tren yang menunjukkan jumlah TPS terus bertambah menjelang Pemilu.
Menurutnya, jumlah TPS itu mestinya sudah fix sejak DPT ditetapkan KPU 4 November 2013. Kalau TPS bertambah, itu kan asumsinya ada penambahan jumlah pemilih. Padahal data KPU sendiri menunjukkan bahwa jumlah pemilih terus menyusut.
Kedua, sudah ada warning dari Bawaslu yang menyatakan tinta Pemilu berkualitas rendah. Tinta mudah pudar atau luntur. Ini tentu sangat berbahaya. Tinta adalah satu-satunya alat untuk mencegah atau membatasi pemilih memberikan suara lebih dari satu kali.
"Dengan kualitas tinta yang buruk, maka operasi kepala desa dan lurah untuk memobilisasi pemilih khusus tanpa identitas tadi menjadi semakin lancar," ucapnya.
Ketiga, minimnya jumlah Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di satu desa atau kelurahan. Jumlah PPL itu kan hanya 1-5 orang saja per desa atau kelurahan, sedangkan di suatu desa atau kelurahan jumlah TPS mencapai puluhan titik.
"Nah, sudah barang tentu PPL tidak akan sanggup mengawasi seluruh TPS yang ada. Pada gilirannya mobilisasi pemilih khusus dimaksud luput dari pengawasan," katanya.
Keempat, dapat dipastikan tidak seluruh parpol dan calon DPD mampu menempatkan saksinya di seluruh TPS yang ada. Ketiadaan saksi di TPS akan semakin menyukseskan operasi dari kepala desa dan lurah itu.(M Zulfikar)