KIPP Soroti Tiga Pelanggaran Masif Pemilu Legislatif 2014
KIPP mengategorikan menjadi 7 jenis pelanggaran: manipulasi, kampanye, politik uang, hak pilih, netralitas, profesionalitas, dan logistik.
Penulis: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia telah mengadukan semua pelanggaran Pemilu Legislatif 9 April 2014 kepada Badan Pengawas Pemilu RI. Pelaporan dilakukan pada Senin 14 April 2014 kemarin.
"Kami diterima dengan baik oleh seluruh komisioner dan Ketua Bawaslu RI dan mereka berjanji akan menindaklanjuti," tutur Wakil Sekretaris Jenderal KIPP Indonesia, Girindra Sandino, dalam rilis yang diterima Tribunnews di Jakarta, Rabu (16/4/2014).
Adapun dari 706 TPS yang dipantau KIPP Indonesia, terdapat temuan 420 pelanggaran dengan berbagai macam bentuk dan modus kecurangannya. KIPP mengategorikan menjadi 7 jenis pelanggaran: manipulasi, kampanye, politik uang, hak pilih, netralitas penyelenggara, profesionalitas penyelenggara, dan logistik.
Atas dasar itu, KIPP Indonesia memandang dan menyatakan sikap terkait proses pelaksanaan Pileg 2014. Salah satunya pengadaan pencoblosan ulang akibat tertukarnya surat suara di 759 TPS di 105 kabupaten/kota di 29 provinsi. Jawa Barat yang terbanyak yakni dengan jumlah 324 TPS (42,68 persen) di 21 Kabupaten/Kota.
"Jika tidak dilakukan, hak politik warga negara, baik hak memilih dan diplih dilanggar. Artinya pihak yang paling bertanggung jawab yakni Kesekretariatan Jenderal KPU, yang dipimpin Komisoner KPU Pokja logistik. KPU gagal dalam hal ini, terbukti dengan masifnya surat suara tertukar," tutur Girindra.
Tak hanya itu, KIPP juga menyoroti banyaknya surat suara yang kadung tercoblos. "Kita bisa melihat kejadian di Nias Selatan, yang beredar di Youtube. KIPP Sumatra Utara melaporkan pada saat itu terjadi dengan form deskriptif," ungkap Girindra.
Kejadian di Nias Selatan tersebut yang juga melibatkan anak-anak kecil ikut mencoblos dan berteriak “sah”, menurut Girindra, merupakan bagian dari budaya demokrasi yang sudah rusak parah. "Kasus ini tentu tidak terlepas dari politik uang yang sudah mengakar di setiap pelaksanaan pemilu, namun kali ini tidak terduga tingkat destruktifnya," tutur Girindra.
Lalu, merebaknya politik uang yang merata di seluruh Indonesia juga menjadi perhatian serius. "Ini termasuk pelanggaran-pelanggaran lain yang di luar batas kewajaran budaya politik kita. Seperti, sertifikat C1 yang masih kosong namun sudah ditandatangani," tutur Girindra.
Semua hal tersebut, kata Girindra, merupakan pelecehan kedaulatan rakyat dalam bentuk pengabaian hak-hak fundamental pemilih ditambah ‘suasana kontestasi’ yang jauh dari proses pencerdasan politik, sarat kecenderungan personifikasi politik dan nyaris tanpa pertarungan gagasan strategis.
Selain itu, kata Girindra, urgensi perbaikan kinerja penyelenggara pemilu tidak perlu diperdebatkan lagi. "Harus ada koreksi dan evaluasi total dari penyelenggara pemilu. Wajib bagi gerakan masyarakat sipil dan kekuatan demokratik lainnya mencegah agar demokrasi tidak dimutilasi oleh ‘bandit-bandit politik’ yang mempermainkan kedaulatan rakyat, tanpa kompromi!" ujarnya.