PKS Minta Sistem Proporsional Terbuka Pemilu 2014 Dikaji Ulang
Wakil Ketua Komisi III DPR, Almuzzammil Yusuf, mengajak pimpinan partai politik mengkaji ulang sistem proporsional terbuka
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR, Almuzzammil Yusuf, mengajak pimpinan partai politik mengkaji ulang sistem proporsional terbuka yang digunakan dalam Pemilu April 2014 lalu. Menurutnya, sistem proporsional terbuka telah merusak kualitas Pemilu.
“Politik uang, kecurangan, dan konflik antarcalon anggota legislatif dalam internal partai dan antarpartai pada Pemilu April 2014 lalu merupakan buah dari sistem proporsional terbuka yang dipaksakan oleh partai-partai besar," kata Muzzammil melalui pesan singkat, Minggu (4/5/2014).
Dengan alasan persaingan bebas dan mengakomodir banyak tokoh agar terlibat dalam politik di parlemen, kata Muzzammil, telah mengakibatkan persaingan yang tidak sehat dalam Pemilu kemarin.
“Saya melihat masyarakat, penyelenggara pemilu, dan caleg belum siap dengan proporsional terbuka. Terbukti politik uang dan kecurangan merajalela di internal partai, di penyelenggara pemilu, dan masyarakat," kata Ketua DPP PKS.
Menurut dia, ide PKS pada saat itu 2012 adalah Pemilu murah, mudah, minim manipulasi dan mengutamakan kader partai dengan menggunakan sistem proporsional tertutup. Sistem ini hanya didukung Fraksi PKS, PDIP, dan PKB. Tapi setelah voting kalah. Fraksi lainnya di DPR yang mendukung sistem proporsional terbuka menang dalam voting.
“Jika sistem proporsional terbuka ini dipertahankan untuk pemilu 2019, kejadian yang sama akan terulang.” Ujarnya.
Keunggulan sistem proporsional tertutup lebih menjamin penguatan organisasi partai politik; adanya pendidikan politik masyarakat dalam kampanye; seleksi kandindat berbasis kualitas dan kapasitas (bobot, bibit dan bebet) kader.
“Sistem ini mendorong proses kaderisasi yang sehat dan mengantarkan kader-kader terbaik partai untuk memberikan pengabdian terbaiknya kepada bangsa dan negara melalui lembaga-lembaga legislatif di pusat dan di daerah,” tuturnya.
Melalui sistem ini pula, kata Muzzammil, memungkinkan biaya pemilu yang lebih murah dan pelaksanaan pemilu yang lebih mudah melalui e-voting seperti di India dan Brazil
“Pemilu bisa dengan teknologi canggih yang portable, cepat, murah, dan lebih terpercaya,” jelasnya.
Untuk itu, Muzzammil berharap Pemilu 2019 nanti, Indonesia sudah dapat menggunakan e-voting. Menurutnya kualitas, kekuatan, dan akurasi alat e-voting di kedua negara itu seperti black box pesawat terbang yang terkunci, kuat, portable, dan bisa pakai accu mobil untuk daerah yang tidak ada aliran listrik.
“Yang tak kalah penting, e-voting tidak gunakan surat suara jadi dapat menghemat jutaan ton kertas. Jadi ramah lingkungan," ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.