Gun Gun: Presiden Harus Mendapat Legitimasi Kuat
Kedua pasangan capres-cawapres Prabowo – Hatta dan Jokowi – Jusuf Kalla berpeluang sama untuk mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat
Editor: Johnson Simanjuntak
![Gun Gun: Presiden Harus Mendapat Legitimasi Kuat](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/20140603_231439_20140603dan07deklarasi_kampanye_damai_pilpres.jpg)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kedua pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dan Joko Widodo – Jusuf Kalla berpeluang sama untuk mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat dalam kontestasi Pilpres 9 Juli 2014.
Legitimasi yang kuat itu penting, sebab kalau tidak, fondasi pemerintahannya akan lemah, karena kurang mendapat kepercayaan (trust) dalam menjalankan pemerintahan 5 tahun ke depan," kata pengamat politik Gun Gun Haryanto dalam dialog pilar negara ‘Menunggu pemerintahan ideal produk Pilpres 2014’ bersama Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari, dan pakar hukum keuangan Yenti Garnasih di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (9/6/2014).
Menurutnya, kekuatan legitimasi itu juga bisa dilihat dari terbentuknya kabinet, antara kabinet kerja yang profesional dan kabinet berdasarkan akomodasi koalisi parpol.
“Legitimasi kuat itu yang lahir dari proses pemilu yang baik, bukan manipulasi suara, bukan money politics, bukan dengan memobilisasi massa. Hal itu penting karena tak ada satu partai yang bisa memenuhi syarat untuk mengusung capres sendiri, sehingga harus berkoalisi. Koalisi itu terlihat sebelum Pilpres maupun setelah Pilpres, itulah yang harus dicermati,” katanya.
Terbentuknya kabinet tersebut, kata Gun Gun, menjadi bukti politik kedua pasangan capres. Seperti dalam pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2004 dan 2009, yang cenderung gemuk sebagai akomodasi parpol pengusung.
"Padahal, logika politik itu sederhana, sehingga kabinet itu sebaiknya ramping, zaken cabinet, kabinet kerja dan profesional. Kalau kabinet gemuk berarti mengakomodir pengusung parpol,” ujarnya.
Yenti Garnasih mengatakan presiden dan pemerintahan ke depan tidak bisa lepas dari masalah hukum di tengah terjadinya ketidaksingkronan hukum pidana dan ketatanegaraan.
Misalnya pejabat yang sudah menjadi tersangka korupsi, tapi masih tetap menjabat baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, dan masih menunggu keputusan hukum tetap.
“Itu yang mesti diselesaikan. Sebab, bagaimana membangun negara ini kalau terlibat korupsi?’ katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.