AGRA: Program Reforma Agraria Jokowi dan Prabowo Palsu
Program reforma agraria atau skema penyejahteraan petani yang dibeberkan kedua calon presiden dalam debat, Minggu (15/6/2014) malam, mendapat kritik
Laporan Wartawan Tribunnews.com Reza Gunadha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Program reforma agraria atau skema penyejahteraan petani yang dibeberkan kedua calon presiden dalam debat, Minggu (15/6/2014) malam, mendapat kritik pedas.
Bahkan, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menilai program pertanian Prabowo Subianto maupun Joko Widodo sebagai agenda reforma agraria palsu.
Karenanya, Sekretaris Jenderal AGRA Rahmat Ajiguna menilai, skema pemberdayaan petani yang dibeberkan Prabowo dan Jokowi justru bakal menyengsarakan mayoritas warga Indonesia yang bekerja sebagai petani.
"Dalam debat semalam, Prabowo maupun Jokowi hanya mengumbar kata-kata manis. Tapi hakikatnya, secara teoritis, filosofis, maupun praksis historisnya tak mampu menyelamatkan petani maupun rakyat lainnya dari jurang kemiskinan," kata Rahmat, Selasa (166/6/2014).
Ia menuturkan, kedua capres tersebut membeberkan skemanya untuk mereformasi struktur agraria yang timpang sehingga diyakini bisa menjadi solusi bagi kesejahteraan sosial.
Tapi, terus Rahmat, skema yang dibeberkan Prabowo maupun Jokowi justru bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
Prabowo, kata dia, dalam debat mengatakan akan mencetak 2 juta hektare lahan yang diperuntukkan pembangunan perkebunan pangan seperti padi, jagung, kedelai. Itu diasumsikan akan menyerap 12 juta tenagakerja.
Sementara Jokowi, sambung Rahmat, bertekad mengembangkan ekspor pertanian berbasis pengolahan industri dalam negeri dan membuka 1 juta hektare lahan kering di luar Jawa dan Bali untuk petani.
"Dengan skema seperti itu, kedua capres terang-terangan kembali menawarkan sistem 'pertanian korporasi' atau pertanian oleh perusahaan swasta besar (corporate farming) yang berwatak antipetani. Justru konsep seperti itu lah yang selama ini membuat petani terusir dari lahan garapannya sendiri," tegasnya.
Rahmat menilai, kedua capres masih menjadikan kebijakan liberalisasi sektor pertanian yang dikemas dalam berbagai program untuk menarik dan melayani investasi asing sebagai basis pembangunan industri nasional.
Intinya, kata Rahmat, program reforma agraria yang diusung Jokowi maupun Prabowo adalah hanya memberi jaminan kepemilikan tanah.
"Ini akan mendorong sertifikasi tanah dengan tujuan agar petani lebih mudah mengakses modal dari bank, karena sartifikat tanah menjadi surat berharga. Jadi, tanah dijadikan komoditas barang dagangan atau pasar tanah. Ini selaras dengan Bank Dunia yang menginkan program seperti itu berjalan di Indonesia. Dalam jangka panjang, program ini akan menyingkirkan petani dari tanahnya secara legal sebagai metode perampasan tanah secara halus," bebernya.
Karenanya, tutur Rahmat, siapa pun yang akan menjadi presiden dan wakil presiden melalui Pilpres 9 Juli 2014 tidak bakal mengubah struktur kepemilihan lahan yang timpang serta mendistribusikan lahan garapan secara merata kepada petani miskin.
"Kedua capres, Prabowo maupun Jokowi, selalu mengklaim sebagai nasionalis dan dijadikan slogan 'dagangannya'. Tapi, melihat programnya, tidak seujung kuku pun mereka memiliki watak nasionalis," tandasnya.
Untuk diketahui, AGRA adalah organisasi massa yang menghimpun petani, nelayan, dan kaum adat minoritas untuk memperjuangkan kepentingan sosial ekonomis.