Bawaslu: DKP Bukan Keputusan Hukum, Tak Bisa Jadi Dasar Prabowo Bersalah
Anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak mengatakan, keputusan Dewan Kehormatan Perwira hanya berlaku di internal militer.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak mengatakan, keputusan Dewan Kehormatan Perwira hanya berlaku di internal militer. Oleh karenanya tidak bisa dijadikan dasar bagi Komisi Pemilihan Umum untuk menyatakan calon Presiden Prabowo Subianto terlibat dalam perbuatan tercela, yakni pelanggaran HAM.
"DKP tidak bisa juga (dijadikan dasar). Apalagi kemudian, keputusan DKP bukan keputusan hukum. Itu keputusan institusi. Putusan itu hanya berlaku internal," ujar Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Nelson Simanjuntak di Jakarta, Rabu (25/6/2014).
Menurut Nelson, DKP tidak bisa digunakan dalam kerangka kepentingan di luar internal institusi, seperti pilpres. DKP merupakan ketentuan norma berupa anjuran atau larangan yang dibuat dalam upaya menjaga kehormatan institusi.
Terkait pandangan publik, bahwa dengan adanya DKP berarti Prabowo terbukti melakukan perbuatan tercela, yang kemudian menjadi dasar diskualifikasi Prabowo oleh KPU, Nelson meluruskan pengertian perbuatan tercela menurut UU.
"Perbuatan tercela itu sendiri harus ada ukurannya. Ini kelemahannya UU kita, oleh KPU akan sulit menerjemahkan, sejauh mana perbuatan tercela," kata Nelson.
Meski begitu, lanjut Nelson, dalam rangka membuat sesuatu yang pasti, harus ada bukti bahwa Prabowo pernah membuat perbuatan tercela. Karena yang berbicara hukum, sehingga yang dapat dilakukan adalah mengambil tindakan berdasarkan keputusan pengadilan.
Selain tidak ada bukti Prabowo melakukan perbuatan tercela, waktu pelaporan DKP yang terlambat, juga menjadi sebab Bawaslu tidak memprosesnya. "KPU tidak ada bukti itu perbuatan tercela. Waktunya juga sudah jauh melampaui," kata Nelson.