Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Rekonsiliasi: Berdamai dengan Masa Lalu

Poin penting dalam rekonsiliasi adalah kemauan semua pihak untuk bersatu kembali dan terutama berdamai dengan masa lalu.

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
zoom-in Rekonsiliasi: Berdamai dengan Masa Lalu
HO/IST
AM Putut Prabantoro, Konsultan Komunikasi Politik. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gunakan pilpres 2014 sebagai pintu masuk terwujudnya Rekonsiliasi Nasional untuk membangun Indonesia yang satu dan tak terbagi di masa depan. Bangsa Indonesia harus dapat membuktikan sebagai bangsa besar dengan menunjukkan sikap saling memaafkan.  

Poin penting dalam rekonsiliasi adalah kemauan semua pihak untuk bersatu kembali  dan terutama berdamai dengan masa lalu. Demikian ditegaskan oleh Konsultan Komunikasi Politik, AM Putut Prabantoro di Jakarta, Jumat (18/7/2014).

Menurut pandangan Putut Prabantoro, Pilpres 2014 telah membagi bangsa Indonesia menjadi dua kutub besar yang saling berseberangan termasuk para purnawirawan, ormas, partai, golongan suku, media dan lain-lain.

Bangsa Indonesia telah menyaksikan begitu hebatnya kampanya kedua kubu dalam pertarungan pilpres kali ini yang melukiskan seakan-akan pilpres 2014 persoalan hidup dan matinya bangsa karena peperangan antara si jahat dan si baik.

“Kita harus bersyukur bahwa Indonesia dapat melewati masa kritis dengan keberanian kita semua menatap luka-luka lama bangsa ini yang secara tidak sengaja dibuka oleh para pemimpinnya. Persoalan adanya rumor kekacauan setelah tanggal 22 Juli, itu menjadi tanggung jawab Presiden SBY, Kapolri,  Panglima TNI, badan intelijen dan juga Menkopolhukam. Jika sudah tercium akan adanya kekacauan, seharusnya bisa diantisipasi oleh pemerintah untuk diredam,” ujar Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) – dari wartawan, oleh wartawan dan untuk Indonesia.

Rekonsiliasi, demikian dijelaskan lebih lanjut, bukan hanya soal bersatunya kembali kedua kubu yang terbelah, tetapi terlebih adalah berdamainya bangsa Indonesia dengan masa lalunya.

Putut menceritakan bahwa pada April 2008, Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) mengadakan rekonsiliasi antara Majapahit dan Pajajaran yang terpecah karena Perang Bubat dengan simbolisasi seminar yang berthemakan “Saudara, Sebangsa dan Setanah Air, di Universitas Pendidikan Indonesia.

BERITA REKOMENDASI

Dikatakannya, bahwa sekalipun generasi sekarang tidak bermasalah dengan masa lalu, tetapi dampak dari ketidakadilan masa lalu dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia generasi sekarang.

Mengutip pernyataan Ajip Rosidi dalam rekonsiliasi budaya pada 4 April 2008, Putut menjelaskan, ada 50 lagu anak-anak Sunda yang menghojat Jawa.  Itu artinya adalah, ada bekas yang tidak bisa dihapus dari perjalanan masa lalu.

“Sehingga yang terpenting dalam rekonsiliasi bukan soal benar atau salah, tetapi terlebih pada bersatunya kembali para pihak yang terpecah karena masa lalu. Untuk menyatukan para pihak yang terpecah, terbelah atau terpisah, para pihak harus mau berdamai dengan masa lalunya terlebih dahulu dengan menghilangkan dendam,” tegas Putut.

“Dahulu sejarah ditulis oleh pemenang, atau oleh orang yang memiliki kekuasaan. Namun sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, orang kecil dan yang kalahpun dapat membuat sejarahnya sendiri. Dan di atas segala sejarah yang ditulis, kejujuran menjadi tolok ukurnya terlepas dari adanya manipulasi sejarah di dalamnya,” tegasnya.

Berdamai dengan masa lalu, menurut Putut, adalah menerima “status quo” sebagai akibat dari tidak ditemukan kebenaran yang sesungguhnya dari sebuah peristiwa luka bangsa karena pihak yang berkuasa atau pemenang mencari pembenaran atas tindakannya.


Bagi Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) ini, yang paling penting adalah niat baik dari seluruh bangsa untuk bersatu kembali dan berdamai dengan masa lalunya.

Dikatakan, luka bangsa Indonesia bukan hanya masalah pilpres, tetapi juga kasus Trisakti, penghilangan orang, Malari, Kedung Ombo, PKI atau pemberontakan Tiongkok di Jawa menjelang Kerajaan Mataram terpecah, sebagai misal.

Dan, bangsa Indonesia tidak mungkin akan menyelesaikan kasus ini karena para pihak yang terkait dengan kasus-kasus tersebut akhirnya tidak ada lagi.

“Sebaiknya rekonsiliasi ditarik ke peristiwa sejarah yang terjauh atau terlama tetapi dampaknya bisa dirasakan hingga sekarang agar Bangsa Indonesia berdamai dengan masa lalunya yang membuat luka hingga sekarang. Selalu mengaitkan pilpres dengan trah Majapahit, trah mataram. trah Sriwijaya, isu agama atau ras sebagai misalnya, sebagai bentuk belum berdamainya bangsa Indonesia dengan masa lalunya, bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI,” ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas