IPW: Seret ke Peradilan HAM Jika Ada Perusuh 22 Juli
Menurut Neta, saat ini KPU sebagai center of gravity. KPU sebagai objek strategis dalam Pilpres 2014, yang hasil penghitungannya ditunggu rakyat.
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM dan lembaga-lembaga pengamat hak asasi manusia (HAM) perlu segera menurunkan tim pemantau, jika terjadi kerusuhan akibat ketidakpuasan kelompok tertentu usai pengumuman hasil Pilpres 2014 yang dilakukan KPU pada 22 Juli.
Demikian dikemukakan Neta S Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) dalam siaran persnya, Jumat (19/7/2014).
"Sebab melakukan kerusuhan adalah pelanggaran terhadap HAM. Pelaku dan otak kerusuhan harus ditangkap serta diproses ke peradilan HAM," kata Neta.
Indonesian Police Watch (IPW) berharap, selain Komnas HAM, Polri juga harus bertindak tegas dan cepat untuk menangkap para pelaku kerusuhan agar bisa segera diproses ke peradilan HAM.
"Bangsa Indonesia pernah melakukan kesalahan besar, yakni saat terjadi kerusuhan Mei 1998, tidak ada satu pun tersangka yang ditangkap, sehingga tidak ada pihak yang bertanggungjawab.
Padahal apa yang terjadi pada Mei 1998 adalah pelanggaran HAM berat dimana banyak korban jiwa, luka, harta benda, dan sejumlah wanita diperkosa," ujarnya.
Untuk itu, menurut Neta, Polri tidak boleh lagi lengah dalam menghadapi situasi pasca 22 Juli. Antisipasi dan deteksi dini serta tindakan tegas harus dilakukan Polri agar kekacauan seperti Mei 1998 tidak terjadi.
"Jika dicermati, pada Mei 1998 center of gravity nya berada di sekitar Universitas Trisakti, sebagai lokasi penembakan mahasiswa.
Kemudian terjadi aksi pembakaran di kawasan Grogol dan sekitarnya, yang kemudian melebar menjadi kerusuhan massal di segala penjuru Jakarta.
Saat itu tidak ada upaya maksimal dari Polri untuk mencegah dan melokalisir kerusuhan," kata dia.
Menurut Neta, saat ini KPU sebagai center of gravity. KPU sebagai objek strategis dalam Pilpres 2014, yang hasil penghitungannya ditunggu seluruh rakyat.
Eskalasi massa di KPU maupun di sekitar KPU, terutama dari pendukung kedua capres, menjadi hal yang sulit dihindari.
"Dalam kondisi ini bisa saja muncul ketidakpuasan terhadap KPU, sehingga muncul sikap anarkis. Bukan mustahil pula situasi ini dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk membuat kekacauan," katanya.
Untuk itu, Neta menegaskan KPU harus dilindungi sepenuhnya dan menjadi tugas Polri agar ketidakpuasan terhadap hasil KPU tidak menyebar menjadi kekacauan.
"Jika pun terjadi kekacauan, Komnas HAM dan lembaga-lembaga pemantau
HAM harus mencari tahu siapa pelaku dan otak pelakunya, agar bisa diusut Polri untuk kemudian diseret ke peradilan HAM.
Bagaimana pun bangsa ini tidak boleh lagi mentolerir aksi-aksi pelanggaran HAM, apalagi membiarkan pelakunya bebas, seperti pelaku kerusuhan dan otak kerusuhan Mei 1998," kata Neta.