Pengamat: Menyetujui Pilkada Tak Langsung Sikap Balas Dendam
"Cara memandang kebutuhan bangsa dikalahkan sikap dan perasaan sakit hati politik. Mereka mengorbankan pencapaian prinsipil dan esensil."
Penulis: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap tiga fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih mendadak memutar haluan, menyetujui pemilihan kepala daerah tidak langsung dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
Ketiga fraksi itu adalah Partai Amanat Nasional, Gerindra, dan Golkar. Sebelumnya ketiga fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih itu menolak pilkada langsung dihapuskan. Namun melihat perubahan sikapnya jelang pengesahan jelas menggelikan.
Kritik disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti. Sebelumnya ada fraksi Demokrat dan PPP yang sejak awal menyetujui draf Pemerintah agar pilkada langsung dihapuskan di tingkat kabupaten atau kota.
Memang, dari semua fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih tidak utuh menyikapi sebaikanya pelaksanaan pilkada langsung atau tidak langsung. Seperti PKS yang tetap menolak pelaksanaan pilkada dipilih melalui DPRD. Sama seperti sikap partai pendukung Jokowi-JK.
"Sekalipun tidak utuh, sikap ini memberi kesan mendalam sebagai bagian dari luka hati akibat gagal dalam pelaksanaan Pilpres 2014," ujar Ray dalam keterangannya yang diterima Tribunnews.com di Jakarta, Kamis (4/9/2014).
Menurutnya, sikap PAN, Gerindra dan Golkar yang berbalik menyetujui pilkada tidak langsung atau diserahkan ke DPRD, tidak didasari argumen mendasar. Apalagi sikap fraksi-fraksi ini begitu saja langsung setuju pilkada tidak langsung.
Padahal, menurut Ray, sikap fraksi di atas sebelumnya justru keras dan tegas menolak usulan draf Kementerian Dalam Negeri yang meminta pilkada langsung dihapuskan, dan diserahkan saja kepada DPRD. Sikap politik seperti ini berpotensi membunuh masa depan demokrasi.
"Cara memandang kebutuhan bangsa dikalahkan sikap dan perasaan sakit hati politik. Mereka mengorbankan pencapaian prinsipil dan esensil dalam reformasi hanya sekadar memenuhi kebutuhan politik jangka pendek, prgamatis dan bernada 'balas dendam,'" sindir Ray.
Ia kembali mempertanyakan PAN sebagai partai yang lahir dan besar karena cita-cita reformasinya, bahkan mencitakan Indonesia sebagai sebuah negara dengan sistem federal di mana pilkada menjadi mutlak keberadaannya, malah berbalik mengikuti gaya dan selera politik rendahan.
"Sikap ini seperti ingin menunjukkan parlemen dikuasai oposisi. Memberi sinyal ke kubu Jokowi-JK bahwa kekuatan Koalisi Merah Putih di parlemen adalah mayoritas. Tentunya, bukan gaya dan watak oposisi seperti ini yang hendak kita budayakan," jelasnya.
Karena sifat oposisi sejatinya memperkuat politik kebangsaan, dengan menempatkan kepentingan bangsa di atas segala kepentingan sektoral. Bukan sekadar mensolidkan kelompok dengan mengorbankan capaian-capaian strategis kebangsaan.