Melawan Stigma PKI Lewat Film Dokumenter Besutan Pelajar Rembang
Dua film pendek berlatar peristiwa 1965 besutan dua pelajar asal SMAN 1 Rembang, memenangi Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.
TRIBUNNEWS.COM - Dua film pendek berlatar peristiwa 1965 besutan dua pelajar asal SMAN 1 Rembang, memenangi Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.
Kedua pelajar itu, Raeza Raenaldy Sutromo dan Ilman Nafai. Tapi, sampai akhirnya film tersebut rampung bukan perkara mudah.
Mereka harus rela tak disokong sekolah baik dana maupun peralatan. Bahkan, tentara dan polisi setempat sempat mendatangi sekolah.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.
Judul film itu ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!’
Tiga pria sepuh; Sulemi, Iskak, dan Masruri, jadi tokoh utamanya. Mereka adalah bekas anggota Batalyon I Cakrabirawa kala 1965.
Di film itu, ketiganya lantas membeberkan apa yang sesungguhnya terjadi saat 1 Oktober 1965.
Sulemi misalnya, mengaku diperintah untuk menjemput Jenderal A.H. Nasution di rumahnya. Hal itu ia sampaikan pada Ilman Nafai, sang sutradara film.
“Katanya, anaknya Nasution itu ditembak oleh orang PKI. Ternyata, anak Nasution si Ade Irma itu, kata Pak Sulemi (bekas anggota Pasukan Cakrabirawa) itu kan tidak sengaja. Karena waktu itu, pintunya akan didobrak nggak jadi. Jadi pintunya ditembak, kemudian anaknya nggak sengaja kena. Cuma yang beredar itu kan diberondong kan,” ungkapnya.
Kepada pelajar di SMAN 1 Rembang ini juga, lelaki kelahiran Purwokerto 1940 itu mengaku masih ingat betul, oleh Komandan Batalyon I Cakrabirawa, Untung Samsuri, mereka diinstruksikan menjemput paksa tujuh petinggi Angkatan Darat (AD), yang diketahuinya berencana mengudeta Presiden Sukarno.
Apa yang diungkapkan Sulemi di film tersebut, seakan mementahkan gambaran bengis para pasukan elit pengawal presiden tersebut.
Pasalnya selama berpuluh tahun, oleh Orde Baru potret itu tertanam di benak para pelajar.
Dan Ilman Nafai seperti ingin mereka ulang kisah para pasukan Cakrabirawa dalam bentuk film dokumenter.
“Awal saya tertarik dengan ’65 itu kan, gara-gara secara psikologi di saya sudah tertanam, bahwa orang komunis itu kan tidak beragama. Nah, ketika pertama kali ke Sekber ’65, ternyata mereka berdoa. Berdoa kepada Pramoedya Ananta Toer dan lainnya. Intinya berdoa lah. Meski agamanya berbeda-beda, tetapi kan berarti mereka punya Tuhan. Aku mau bikin film, nah agar pengetahuanku semakin dalam, ya sudah saya bikin film saja,” ujar Ilman Nafai, si Pembesut film dokumenter tentang bekas anggota Pasukan Cakrabirawa ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal,” ujar Ilman.
Ilman tak sendiri. Ada Raeza Raenaldy. Ia membikin film berjudul ‘Izinkan Saya Menikahinya’.
Berkisah tentang seorang tentara yang tak bisa menikahi kekasihnya lantaran kakek sang kekasih dicap Eks Tapol (ET). Padahal sepasang kekasih ini sudah menjalin cinta sejak SMP.
Kisah cinta yang terjalin selama sembilan tahun tersebut, pupus, setelah sang Komandan melayangkan selembar surat yang berisi penolakan izin menikah lantaran kekasihnya adalah cucu dari seseorang yang terlibat PKI.
Lewat film ini, Raeza ingin menyentil sikap tentara yang masih saja menstigma para korban. Padahal sejak Gus Dur memimpin, persoalan eks tapol sudah diselesaikan.
Tapi toh, kasus yang menimpa pasangan kekasih itu terjadi pada 2014.
“Tulisan eks Komunis (ET) itu kan sudah dihapus oleh Presiden Gus Dur pada tahun 1999, kalau tidak salah. Masa di tahun 2014 masih saja tetap dipermasalahkan, kan aneh. Apalagi ini kan bukan pelakunya. Mungkin, saya ingin memberi tahu, bahwa di kota sekecil Purbalingga ini, eks tapol itu masih dipermasalahkan. Apalagi ini kan cuma bidang pernikahan,” kata Raeza Raenaldy.
Tapi sayang, ide dua pelajar tersebut tak disokong pihak sekolah; tak diberi dana dan tak dipinjami peralatan. Padahal di sekolahnya, ada praktikum ekstrakurikuler sinematografi.
“Banyak kesulitan. Terutama kan karena sekolah tidak mendukung. Karena pasti bikin film itu kan pasti butuh dana. Karena sekolah tidak ada kan, dananya dari teman-teman, anak-anak yang ikut ekstrakurikuler. Hasil iuran,” ungkap Raeza Raenaldy.
Namun bukan berarti Ilman dan Raeza, urung membuat film berlatar peristiwa 1965 itu. Keduanya sepakat patungan membiayai pembuatan film.
Beruntung pula, komunitas film di Purbalingga bersedia membantu pendanaan dan meminjaman kamera dan peralatan lainnya.
Hingga pada Maret 2016, dimulaikan proses produksinya.
Akan tetapi, Kepala SMAN 1 Rembang, Purwito, berkilah pihaknya tak mendukung. Kata dia, proposal kedua film itu terlambat diajukan dan tanpa diketahui sekolah.
“Manakala ada kegiatan sudah berjalan, kemudian tidak ACC kepala sekolah, itu sama saja inprosedural. Dan itu tidak kami kehendaki sama sekali. (Jadi film ini tidak dibiayai?) Tidak, betul, tidak sepeserpun, saya katakan. Jadi kalau ada yang mengatakan di media sosial tidak dibiayai, kami katakan, ‘iya betul, tidak sepeserpun’,” kata Purwito.
Miris karena belakangan, pihak sekolah menghentikan ekstrakurikuler sinematografi, pasca ketahuan anak didiknya memproduksi film berlatar tragedi 1965.
Purwito mengatakan, keputusan itu sesuai pertimbangan manajemen sekolah.
“Yang jelas, pada tahun ajaran baru 2016/2017 ini tidak masuk program. Kalau tidak salah (sudah dibekukan) Maret 2016. Kemudian, saya yakin, Anda akan bertanya ‘Lho, kenapa demikian?, Saya jawab bahwa persoalan manajemen itu yang harus dihargai,” tukas Purwito.
Kala didesak, apakah keputusan penghentian ekskul terkait dengan kedatangan Komandan Komando Distrik Militer Purbalingga dan Wakil Polres Purbalingga, Purwito tak menjawab tegas.
“Kalau tamu biasa. Ya pernah, tetapi tidak ada kaitan dengan menutup dan segala macam. Nggak ada kaitannya. Yang jelas, kalau bicara khusus (soal film berlatar 65) pernah juga,” jelasnya.
Tak hanya sekolah yang disambangi tentara dan polisi. Ilman mengaku pernah ditanyai seputar film yang dibuatnya.
“Pernah didatangi di sekolah, itu karena mungkin ada triller filmku, ada kata-kata ‘Suharto itu bukan manusia’, mungkin kerena itu ya. Karena belum tahu dalamnya, terus berfikir, ‘Wah, ini film parah nih, bahaya’. Artinya aku didatengin, ditanya ‘Apa kamu bener sutradaranya?’, Saya jawab ‘Iya’. Terus ditanya, ‘Kamu bikin film karena ingin atau sedang marak film beginian’,” ungkap Ilman.
Lantas, bagaimana proses pembuatan kedua film tersebut?
Memboyong Film ke Internasional
Raeza Raenaldy dan Ilman Nafai, adalah dua pelajar di SMAN 1 Rembang. Nama keduanya melambung pasca memproduksi dua film berlatar peristiwa 1965; Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! dan Izinkan Saya Menikahinya.
Bahkan, film tersebut menyabet penghargaan di ajang Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.
Ilman Nafai bercerita, mulanya ia dan Raeza melakukan riset di komunitas Sekretariat Bersama (Sekber) 65. Di sana, ia diceritakan kisah-kisah para penyintas.
Dari situ, ia akhirnya tertarik memfilmkan tiga anggota Cakrabirawa, pasukan elit pengawal Presiden Sukarno; Sulemi, Iskak, dan Masruri.
Hanya saja, saat proses produksi berjalan, Ilman dan Raeza sempat disambangi tentara. Tapi, Ilman mengaku cuek saja. Toh menurutnya tak ada satu pun dalam filmnya yang mempromosikan paham komunis.
“Kebetulan aku bikin film itu sebelum marak juga kan. Sedangkan film ku itu sama sekali tidak mempromosikan komunis. Justru sisi lain. Cuma ngomongin, kalau mereka salah, terus bagaimana lagi. Padahal, komunis itu kan sudah tidak ada. Sudah jelas tidak ada,” ujar Ilham.
Sandungan lain yang dihadapi dua pelajar itu, saat sekolah tak mendukung; baik dana dan peralatan.
Beruntung karena Komunitas Film CLC Purbalingga, bersedia meminjamkan alat-alat yang dibutuhkan keduanya.
Tak hanya itu, CLC Purbalingga meminta izin ke pengelola Museum Jenderal Soedirman agar dibolehkan memakai aula.
“Yuk, kita pengajuan ke dinas, untuk memakai Monumen Jenderal Soedirman. Karena di situ kan ada aula. Sedangkan kami membutuhkan ruang tertutup. Kerena kadang materi yang disampaikan juga membutuhkan ruang tertutup karena menggunakan slide. Butuh nonton film, butuh slide. Jadi tidak mungkin selalu di luar. Akhirnya saya mengajukan, ‘Pak, ini dibutuhkan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan sampi kapan, karena sekolah juga dalam kondisi tidak membolehkan, sehingga membutuhkan kebijakan,” jelas Bowo.
Film besutan Ilman dan Raeza diproduksi pada April lalu, sekira dua hari. Selang sebulan, film itu diikutkan dalam Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2016.
Hingga pada 8 Oktober lalu, pihak AFI 2016 yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia, mengumumkan; film karya Ilman dan Raeza, jadi juaranya.
Film ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal’ menyabet predikat film terbaik katagori film dokumenter pendek tingkat pelajar dan mahasiswa.
Sedangkan film ‘Izinkan Saya Menikahinya’ karya Ilman Nafai, menjuarai film fiksi pendek tingkat pelajar dan mahasiswa.
Malah, sebelumnya dua film itu juga juara di ajang Festival Film Purbalingga (FFP) 2016.
Sialnya, prestasi menterang itu tak membuat sekolah bangga. Kepala Sekolah SMAN 1 Rembang, Purwito mengaku tak perlu mengirim perwakilan ke acara AFI 2016 di Manado itu. Ia beralasan, film tersebut tidak diatasnamakan sekolah.
“Hari Sabtu, 8 Oktober, dua anak itu memohon izin ke sekolah, bahwa yang bersangkutan mendapatkan undangan. Undangannya juga atas nama yang bersangkutan, tidak ada tembusan untuk sekolah. Sekolah mengeluarkan izin atas permohonan siswa. Intinya seperti itu. Nah, sekolah tidak mengutus perwakilan, karena memang bukan perwakilan sekolah,” kata Purwito.
Dan meski sudah mengantongi banyak penghargaan, pihak sekolah, kata Purwito, belum terpikir menghidupkan ekskul sinematografi.
“Kalau bahasan itu tentu saja, manajemen tentu akan berfikir untuk semuanya. Saya belum bisa jawab sekarang. Dan saya, nyuwun sewu, bukan kapasitas panjenengan untuk bertanya soal itu. Dan saya tidak bisa bicara, karena semua top manajemen. Kita ada tim pengembang sekolah, dan seterusnya. Yang tentunya, semua keputusan yang diambil itu harus dirembuk. Kita analisa SWOT semuanya,” jelasnya.
Sementara itu, Bowo Leksono yang juga guru pembimbung ekstrakurikuler sinematografi di SMAN 1 Rembang, menyayangkan sikap sekolah yang mematikan ekskul sinematografi.
Sempat juga ia menanyakan keputusan itu, tapi tak ada jawaban lugas.
“Bikin film kan bolos, itu kan. Hanya surat orang tua. Surat apalagi? Masa harus surat dokter. Namanya juga sedang bikin film. Lalu orang tua dipanggil Saat dikumpulkan, kepala sekolahnya malah keluar. Yang menemui, wakil kepala sekolah yang disuruh bicara. Ketika kami tanyakan kenapa ekskul ditutup, jawabannya, ‘Ya, itu rahasia kami’. Nah, itu efek setelah itu. Pasca itu kan kami sedang bikin film yang BNN itu kan. Jadi ambil satu hari, yang tidak mungkin hari Minggu,” bebernya.
Bowo meyakini, keputusan menghentikan ekskul itu, karena ada tekanan dari tentara. Sebab, beberapa kali sekolah disambangi aparat.
Ia juga bercerita, sekolah lain yang ia ajar juga ‘dipesani’ kepala sekolah agar tak memproduksi film yang kontroversial, utamanya terkait PKI.
Agar kreatifitas pelajar di sini tak padam, Komunitas Film CLC Purbalingga bersama Ilman dan Raeza, bakal menggunakan uang dari AFI 2016 untuk membeli alat produksi film.
“Anak-anak yang menang, pasti beli alat. Kedua, yang sedang kita wacanakan itu untuk membantu program pemerintah itu, RTLH. Jadi beberapa alat itu kan, ditempatkan di sini. Agar teman-teman SMA lain yang belum punya alat itu bisa memakai. Jadi setiap tahun, sekolah yang kurang itu tidak bingung, karena disuport sekolah lain. Yang itu dibeli dari hasil mereka juara, bukan dari anggaran sekolah ya,” jelas Bowo.
Sementara itu, film ‘Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal’ dan ‘Izinkan Saya Menikahinya’ belum akan dibuka ke publik. Hanya dikecualikan jika untuk riset atau diskusi. Dengan syarat, ada pengajuan tertulis. Sebab, dua film ini akan dikompetisikan di festival film kelas dunia.
Penulis : Muhammad Ridlo/ Kantor Berita Radio (KBR)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.