RUU Cipta Kerja Dikhawatirkan Muluskan Perguruan Tinggi Asing Masuk dengan Mutu Asal-asalan
Dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 54 ayat (5) UU Pendidikan Tinggi (Dikti) yang mengatur Standar Nasional Pendidikan Tinggi dihapus.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Bidang Pendidikan NU Circle Ahmad Rizali mengkritik pasal 54 tentang standar pendirian Perguruan Tinggi dalam Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja.
Pasal tersebut mengubah substansi pasal yang sama dalam Undang-undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 54 ayat (5) UU Pendidikan Tinggi (Dikti) yang mengatur Standar Nasional Pendidikan Tinggi dihapus.
Akibatnya, dalam pasal tersebut tidak diperlukan adanya syarat akreditasi untuk pendirian Perguruan Tinggi.
Menurutnya, hal ini berpotensi memudahkan perguruan tinggi asing masuk ke Indonesia.
“Pada dasarnya saya tidak bermasalah ada Perguruan Tinggi Luar Negeri (PTLN) masuk ke Indonesia, namun, PTLN yang datang ke Indonesia harus membawa mutu yang sama dengan mutunya di negera asal, setidaknya masuk the best 200 QS Rank Dunia,” kata Ahmad saat dihubungi Kompas.com, Selasa (15/9/2020).
Baca: Fraksi PKS Kritik Pemerintah Cabut Pasal Pembentukan BUMN Khusus di Omnibus Law
“Akreditasi Institusi, Prodi dan Dosen mereka harus dari negara asalnya saja, buat apa dana APBN kita pakai untuk akreditasi mereka. Jangan sampai mereka membawa mutu asal-asalan,” lanjut dia.
Ahmad menambahkan, pada pasal 63 ayat (3) UU Sisdiknas dalam RUU Cipta Kerja mengatur bahwa badan hukum pendidikan berprinsip dapat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri.
Baca: Peringati Hari Kemerdekaan, Buruh Ketenagalistrikan Luncurkan Poster Tolak Omnibus Law
Terkait prinsip, menurut Ahmad, hanya satu, yakni laba atau nirlaba. Namun, jika "dapat nirlaba" maka prinsipnya adalah Laba.
Meskipun dalam RUU ini tidak eksplisit disebut prinsip "mencari laba", namun jika dilihat dari izin Badan Usaha,maka tidak memiliki arti lain selain mencari ;aba.
Dengan begitu, lembaga pendidikan tidak akan jauh berbeda dengan korporasi yang berorientasi pada profit.
Ahmad mengatakan, ketentuan dalam RUU Cipta Kerja ini akan semakin mendorong sektor pendidikan sebagai komoditas. Artinya pendidikan menjadi jasa yang diperjualbelikan tergantung permintaan dan penawaran.
“Izinnya adalah izin usaha atau profit, sehingga pendidikan, khususnya swasta seperti LP Maarif NU, Muhammadiyah, PGRI dan yayasan-yayasan berbasis agama dan nasional berubah prinsip,” tutur dia.
Ahmad juga menyoroti perubahan Pasal 53 ayat 1 UU Sisdiknas yang mengatur bahwa penyelenggara satuan pendidikan yang berbentuk badan hukum didirikan oleh pemerintah dan masyarakat.
Namun dalam RUU Cipta Kerja, kata 'pemerintah' dihapus.
Menurut Ahmad, perubahan tersebut membuat posisi pemerintah dalam sektor pendidikan menjadi tidak jelas.
Sebelumnya, Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menilai sejumlah pasal dalam omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berpotensi membuat Indonesia menjadi pasar bebas pendidikan.
“Ada beberapa pasal terkait Pendidikan di RUU Ciptaker yang kontraproduktif dengan filosofi dan tujuan penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (11/9/2020).
“Jika benar-benar diterapkan maka RUU Cipta Kerja klaster Pendidikan akan membawa Indonesia sebagai pasar bebas pendidikan,” lanjut dia.
Huda menjelaskan semangat yang dibawa RUU Cipta Kerja mengarah kepada liberalisasi Pendidikan.
Sebab, peran negara dibuat seminimal mungkin dan dinilai menyerahkan penyelenggaraan Pendidikan kepada kekuatan pasar.
“Kondisi ini akan berdampak pada tersingkirnya lembaga-lembaga pendidikan berbasis tradisi seperti pesantren dan kian mahalnya biaya pendidikan,” ungkap Huda.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul RUU Cipta Kerja Dikhawatirkan Permudah Perguruan Tinggi Asing Masuk dengan Mutu Asal-asalan
Penulis : Irfan Kamil