Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Fraksi PKS: Pemerintah Harus Cabut Klaster Pendidikan dari Omnibus Law Cipta Kerja

Mulyanto menegaskan, PKS menolak logika dasar liberalisasi lembaga pendidikan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja itu.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Fraksi PKS: Pemerintah Harus Cabut Klaster Pendidikan dari Omnibus Law Cipta Kerja
Tribunnews/JEPRIMA
Masa aksi membawa poster bertuliskan Tolak Omnibuslaw pada aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan pemberhentian hubungan kerja (PHK) di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (25/8/2020). Aksi tersebut bukanlah menolak pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja namun menolak pengesahan draft RUU Cipta Kerja yang dikirim oleh pemerintah kepada DPR. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Panitia Kerja (Panja), Badan Legislasi DPR RI, Mulyanto, minta pemerintah mencabut klaster pendidikan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Ia menilai pemerintah tidak siap merumuskan konsepsi dasar tata kelola pendidikan nasional dalam RUU Cipta Kerja. 

"Dalam draf yang ada masih muncul semangat liberalisasi pendidikan, yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagang komersil industri jasa, yang longgar bagi lembaga pendidikan asing," kata Mulyanto kepada wartawan, Jumat (18/9/2020).

Fraksi PKS menilai pemerintah terkesan memaksakan pembahasan pasal-pasal terkait dengan pendidikan dalam RUU Cipta Kerja. 

Baca: Bahas RUU Omnibus Law Sektor Keuangan di Saat Pandemi Dinilai Tidak Tepat

"Padahal sebenarnya, masalah ini tidak terkait langsung dengan upaya membangun kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif serta penciptaan lapangan kerja, yang menjadi inti dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja," ucapnya.

Mulyanto menjelaskan, hingga saat ini DPR dan pemerintah sudah 2 kali membahas RUU Cipta Kerja terkait klaster pendidikan.

Baca: Fraksi PKS Kritik Pemerintah Cabut Pasal Pembentukan BUMN Khusus di Omnibus Law

Berita Rekomendasi

"Meski sudah beberapa kali diskor untuk lobi-lobi, namun pemerintah tetap belum siap dengan rumusan baru yang bisa diterima. Pemerintah masih ingin mencabut sifat nirlaba kelembagaan pendidikan serta membuka liberalisasi pendidikan asing," katanya.

Buruh menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law di Banda Aceh, Selasa (25/8/2020). Para buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Aceh melakukan unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law karena dinilai dapat merugikan pekerja dan lingkungan hidup. Serambi Indonesia/Hendri
Buruh menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law di Banda Aceh, Selasa (25/8/2020). Para buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Aceh melakukan unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law karena dinilai dapat merugikan pekerja dan lingkungan hidup. Serambi Indonesia/Hendri (Serambi Indonesia/Hendri)

Alasannya, lanjut Mulyanto, ketimbang membiarkan mahasiswa Indonesia pergi belajar ke luar negeri dan menguras devisa, lebih baik lembaga pendidikan asing yang diundang beroperasi di sini.

Dengan demikian pemerintah akan mendapat pemasukan dari pajak lembaga pendidikan asing itu. Selain itu biaya hidup mahasiswa Indonesia tetap dikeluarkan di negeri sendiri.

Pemerintah juga beralasan, liberalisasi pendidikan ini perlu dilakukan karena ada desakan WTO.

"Kalau soal WTO, Panja RUU Cipta Kerja sudah 2 kali menghadirkan Duta Besar WTO. Panja sudah minta penjelasan langsung terkait aturan liberalisasi ini. Dan faktanya, menurut mereka tidak ada sanksi yang jelas dari WTO terkait soal liberalisasi pendidikan ini. Berbeda dengan masalah pangan, yang jelas aturan dan sanksinya, termasuk adanya potensi penuntutan dari negara-negara tertentu yang merasa dirugikan," ujarnya

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR itu menambahkan, alasan pemerintah untuk meliberalisasi lembaga pendidikan kurang bisa diterima.

Menurutnya, liberalisasi lembaga pendidikan belum tentu menjamin peningkatan pendapatan negara.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas