Mengenal Batik Pedalaman atau Klasik dan Batik Pesisir, Berbeda Cara Pembuatan dan Motifnya
Berikut penjelasan mengenai batik pedalaman atau klasik dan batik pesisir.
Penulis: Katarina Retri Yudita
Editor: Inza Maliana
TRIBUNNEWS.COM - Berikut penjelasan mengenai batik pedalaman atau klasik dan batik pesisir.
Sejak masa lalu, Indonesia telah menggunakan produk batik sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mulai dari pakaian hingga kebutuhan ritual budaya.
Dalam sejarahnya, secara magis pemilihan teknik rintang warna (resist dyeing) pada batik ditujukan untuk mengundang keterlibatan roh pelindung guna menolak pengaruh roh jahat.
Selain itu, para ahli meneliti berdasarkan lukisan-lukisan yang ada pada dinding gua-gua di Indonesia.
Kegiatan merintang warna ini sudah dilakukan oleh manusia purba.
Baca juga: Mengenal Kerajinan Tekstil dengan Tapestri: Bahan, Alat Pembuat, dan Proses Produksinya
Gambar yang paling sering muncul adalah gambar tapak tangan yang dibubuhi pigmen merah.
Hal ini dapat digambarkan bahwa teknik perintangan warna pada pembuatan kain batik ini dipengaruhi oleh konsep kepercayaan.
Dari teknik perintang warna tersebut, sejak dahulu pula masyarakat Indonesia telah mengenal kain jumputan atau ikat pelangi atau sasirangan atau ikat celup (tie dye).
Dalam perkembangannya, batik menjadi kegiatan berkarya dengan teknik yang sama yaitu merintang kain.
Teknik membatik merupakan media yang dapat mempresentasikan bentuk yang lebih lentur, rinci, rajin, tetapi juga mudah.
Teknik batik tepat untuk mempresentasikan bentuk-bentuk flora, fauna, serta sifat-sifat bentuk rumit lainnya.
Pada batik, terdapat ragam hias yang beraneka rupa.
Ragam hias batik merupakan ekspresi yang menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya.
Ragam hias diciptakan atas dasar imajinasi perorangan ataupun kelompok.
Hampir secara keseluruhan, ragam hias batik dapat menceritakan tujuan atau harapan perorangan maupun kelompok tadi.
Apabila ragam hias yang diciptakan dipakai berulang-ulang dan terus-menerus, maka akan menjadi sebuah kebiasan yang lama kelamaan pula akan terbentuk tradisi dari sekelompok masyarakat tertentu.
Berdasarkan perkembangannya, ragam hias batik sangat dipengaruhi oleh budaya luar sehingga dihasilkan corak batik yang beraneka ragam.
Berdasarkan wilayah penyebaran motif pada kain batik dan dilihat dari periode perkembangan batik di Indonesia, batik dapat dibagi menjadi dua, yaitu batik pedalaman atau sering disebut dengan klasik dan batik pesisir.
Kedua istilah batik ini tidak hanya berlaku pada masa dahulu, tetap berlangsung hingga saat ini.
Pembeda kedua istilah batik ini terdapat pada cara pembuatannya dan motif atau corak yang ada pada kain batik tersebut.
Berikut penjelasan mengenai batik pedalaman atau klasik dan batik pesisir, dikutip dari Buku Prakarya Kelas 7 Semester 1:
1. Batik pedalaman (klasik)
Batik pedalaman adalah pengkategorian batik yang berkembang di masa lalu.
Dahulu pembatik-pembatik hanya ditemui di daerah pedalaman.
Selain itu, juga tidak sembarang orang dapat melakukan proses pembatikan, sehingga jarang dijumpai di lingkungan masyarakat luas.
Pada masa kejayaan kerajaan di Indonesia seperti Majapahit, kain batik hanya ditemui di kalangan raja-raja saja dan hanya petinggi keraton yang boleh mengenakan kain batik.
Oleh karena itu, pembatik hanya dapat dijumpai di lingkungan keraton.
Batik keraton adalah batik yang tumbuh dan berkembang di atas dasar-dasar filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual.
Batik tersebut terdapat harmonisasi antara alam semesta yang tertib, serasi, dan seimbang.
Para pembatik keraton membuat batik dengan cara yang tidak biasa, yaitu menggunakan banyak proses dan ritual pembatikan.
Para pembatik keraton ibarat ibadah, suatu seni tinggi yang patuh pada aturan serta arahan arsitokrat Jawa.
Istilah-istilah batik pun mulai dikenal sejak zaman ini dan hampir semuanya menggunakan istilah dalam bahasa Jawa.
Ragam hias yang diciptakan pun bernuansa kontemplatif, tertib, simetris, bertata warna terbatas seperti hitam, biru tua (wedelan), dan soga/coklat.
Ragam hias ini memiliki makna simbolik yang beragam.
Oleh karena itu, batik dikenal masyarakat sebagai kebudayaan nenek moyang dari daerah Jawa.
Batik pedalaman sering disebut juga sebagai batik klasik.
Hal ini sesuai dengan beberapa alasan di atas.
Namun, akibat perkembangan masyarakat, maka batik dapat keluar dari kalangan keraton dan menyebar ke seluruh pelosok tanah air, sejalan dengan adanya integrasi budaya.
Motif truntum merupakan lambang cinta kasih yang tulus tanpa syarat, abadi, dan semakin lama semakin terasa subur berkembang (tumaruntum).
2. Batik pesisir
Batik pesisir adalah batik yang berkembang di masyarakat yang tinggal di luar benteng keraton, sebagai akibat dari pengaruh budaya daerah di luar Pulau Jawa.
Selain itu, adanya pengaruh budaya asing seperti Cina dan India, termasuk agama Hindu dan Budha yang menyebabkan batik tumbuh dengan berbagai corak yang beraneka ragam.
Kemudian, para pembatik daerah pesisir merupakan rakyat jelata yang membatik sebagai pekerjaan sambilan (pengisi waktu luang) yang sangat bebas aturan, tanpa patokan teknis.
Oleh sebab itu, ragam hias yang diciptakan cenderung bebas, spontan, dan kasar dibandingkan dengan batik keraton.
Para pembatik pesisir lebih menyukai cara-cara yang dapat mengeksplorasi batik seluas-luasnya sehingga banyak ditemui warna-warna yang tidak pernah dijumpai pada batik pedalaman/klasik.
Warna-warna yang digunakan mengikuti selera masyarakat luas yang bersifat dinamis, seperti merah, biru, hijau, kuning, bahkan ada pula yang oranye, ungu, dan warna-warna muda lainnya.
Ragam hias pada karya batik Indonesia sangat banyak.
Tentunya masing-masing motif memiliki makna sesuai dengan budaya masing-masing daerah.
Motif bunga dan tumbuhan memiliki makna untuk selalu menjaga kelestarian alam.
(Tribunnews.com/Katarina Retri)
Artikel lainnya terkait Materi Sekolah