Surat Perintah 11 Maret 1966 dan Kontroversinya di Era Presiden Soekarno hingga Soeharto
Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966 dan kontroversinya di era Presiden Soekarno hingga Soeharto. Surat perintah ini berisi instruksi kepada Suharto.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar) adalah surat perintah yang dari Presiden Soekarno kepada Suharto.
Surat perintah ini berisi instruksi kepada Suharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat RI, untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu demi memulihkan ketertiban.
Dikutip dari buku Dalih Pembunuhan Massal yang ditulis oleh John Roosa, semua tindakan Suharto disahkan melalui instruksi-instruksi yang ditandatangani Presiden Soekarno, termasuk pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat pada 2 Oktober dan pengesahannya sebagai panglima militer keadaan darurat baru yang disebut Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 1 November.
Pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 4 Desember juga atas perintah resmi yang ditandatangani Presiden Soekarno.
Suharto bahkan menggunakan instruksi presiden sebagai pembenaran untuk menahan lima belas menteri anggota kabinet Soekarno dan mengangkat menteri-menterinya sendiri.
Soekarno memprotes perintah yang diberikannya pada 11 Maret 1966 bukan merupakan pemindahan kekuasaan.
Namun, kata-kata Presiden Soekarno tidak mampu menghentikan langkah Suharto terus ke depan.
Suharto sangat cermat dalam mengolah prosedur konstitusional, seperti misalnya sidang MPRS yang memilihnya sebagai pejabat presiden pada Maret 1967 (parlemen yang telah dipadati dengan wakil-wakil pilihannya sendiri), sehingga perebutan kekuasaan negara oleh Angkatan Darat tidak akan
menampak kejelasan.
Baca juga: Apa Itu Supersemar? Ini Sejarah Surat Perintah 11 Maret Disertai Isi dan Kontroversinya
Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966
Dikutip dari Universitas Krina Dwipayana, Surat Perintah Sebelas Maret yang berisi perintah untuk "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu" adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah.
Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan terdapat berbagai versi Supersemar, sehingga masih ditelusuri naskah asli supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Menurut versi resmi, awal keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang dikenal dengan nama "Kabinet 100 Menteri".
Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan banyak pasukan tak dikenal yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Pasukan itu diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan.
Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI.
Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.
Mayjend Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat.
Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi.
Ketiga perwira tersebut menyatakan, Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan jika diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.
Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen Budiono.
Baca juga: PROFIL Soeharto, Presiden Kedua RI yang Menjabat Selama 32 Tahun pada Masa Orde Baru
Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966
1. Isu Pemindahan Kekuasaan
Menurut penuturan Brigadir Jendral Amirmachmud, perwira tinggi AD dari tiga utusan itu, sempat membaca kembali surat itu dalam perjalanan kembali ke Jakarta.
Ia kemudian berkomentar, "Lho ini kan perpindahan kekuasaan".
Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku sejarah peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia.
2. Isu Presiden Soekarno Dipaksa Tandatangani Supersemar versi AD
Menurut kesaksian seorang pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, menyatakan Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean ikut hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dini hari, dan bukan tiga perwira.
Sukardjo mengatakan, Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu.
Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat lalu menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya.
Lettu Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan menyarungkannya.
Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat itu.
Setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan.
Keempat perwira tinggi lalu meninggalkan istana.
Presiden Soekarno mengatakan kepada Soekardjo, beliau harus keluar dari istana.
Tidak lama kemudian Istana Bogor sudah diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer.
Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
3. Kesaksian A.M. Hanafi
Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba, yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto.
Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya pada tanggal 11 Maret 1966 dini hari yang menodongkan senjata terhadap Presiden Soekarno.
A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang Kabinet 100 Menteri itu bersama Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh.
Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut, ketiga jendral pergi ke Istana Bogor, menemui Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu.
Ia juga menuturkan, sebelumnya Amir Machmud menelepon dari Istana Merdeka (Jakarta) kepada Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke Bogor.
Ketiga jendral ini rupanya sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar.
Di sanalah Bung Karno, namun tidak ditodong, karena mereka datang baik-baik.
Situasi di luar istana saat itu sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi, kemudian Bung Karno menandatangani surat itu.
A.M Hanafi menyatakan, sepengetahuannya yang tidak hadir di Bogor namun berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain, Jendral Panggabean tidak ikut pergi ke Istana Bogor dan tidak menghadiri rapat kabinet.
Baca juga: Gerwani dan Stigma Negatif Organisasi Perempuan Indonesia, Sering Dihubungkan dengan G30S 1965
4. Siapa yang Mengetik Naskah Supersemar?
Orang yang mengetik supersemar sebenarnya masih tidak jelas.
Ada beberapa orang yang mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
5. Dimana Naskah Asli Supersemar?
Sejarawan asing, Ben Anderson, mendapat kesaksian dari seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor.
Tentara tersebut mengemukakan Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan.
Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini.
ANRI telah berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal.
Selain itu, ANRI juga sempat meminta bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan, bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Namun hal itu tidak pernah terwujud.
Ketidakjelasan Supersemar itu membuat para sejarawan dan ahli hukum Indonesia mengatakan peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah bagian dari sejarah Indonesia yang masih gelap.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Surat Perintah 11 Maret