Profil Singkat 7 Pahlawan Revolusi: Jenderal TNI Ahmad Yani hingga Kapten Czi Pierre Tendean
Berikut ini profil singkat 7 (tujuh) pahlawan revolusi, ada Jenderal TNI Ahmad Yani hingga Kapten Czi Pierre Tendean.
Penulis: Nurkhasanah
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini profil singkat tujuh pahlawan revolusi Indonesia.
Dikutip dari Gramedia Blog, pahlawan revolusi adalah orang-orang yang dahulu menjadi target penculikan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada waktu itu, kelompok pendukung PKI yakni pasukan Cakrabirawa menculik beberapa orang dari perwira tinggi yang dituduh melakukan kudeta.
Mereka dijemput paksa lalu dibawa ke Lubang Buaya untuk disiksa bahkan dibunuh.
Setelah dibunuh, jasad para perwira tinggi tersebut dimasukkan ke dalam sumur yang berada di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Para perwira tinggi yang menjadi korban pasukan Cakrabirawa tersebut oleh pemerintah Indonesia kemudian diberi gelar sebagai pahlawan revolusi.
Baca juga: Tujuan G30S 1965, Upaya Kudeta dan Gugurnya 10 Pahlawan Revolusi di Jakarta dan Yogyakarta
Simak profil singkat tujuh pahlawan revolusi Indonesia berikut ini:
Jenderal TNI Ahmad Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah.
Jenderal TNI Ahmad Yani pernah mengikuti wajib militer dan berperan sebagai tentara Hindia Belanda.
Jenderal Ahmad Yani juga menjadi salah satu anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) pada saat Jepang melakukan penjajahan terhadap Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, Ahmad Yani mulai bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia yang waktu itu masih memiliki nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Baca juga: Sosok Pelda Soegimin, Prajurit KKO Pengangkat Jenazah Pahlawan Revolusi dari Sumur Lubang Buaya
Selain itu, Ahmad Yani juga turut dalam peristiwa agresi militer Belanda.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Ahmad Yani ditarik ke Kota Tegal, Jawa Tengah bersama pasukan khususnya yaitu Banteng Raiders.
Ahmad Yani dan pasukan khususnya pun berhasil menumpas dan mengalahkan pemberontakan Darul Islam yang dulu dibentuk oleh Kartosuwiryo.
Atas prestasinya tersebut, Ahmad Yani dikirim untuk mengikuti kursus militer di Amerika Serikat.
Sekembalinya ke Indonesia, Ahmad Yani ditarik lagi ke Markas Besar TNI Angkatan Darat yang berlokasi di Jakarta dan menjadi staf umum Jenderal AH Nasution.
Pada 1958, Ahmad Yani berhasil meredam pemberontakan PRRI yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein di Sumatera Barat.
Prestasi tersebut kemudian membuat Ahmad Yani dilantik menjadi Panglima Angkatan Darat, menggantikan Jenderal AH Nasution.
Pada 30 September 1965 dini hari, Ahmad Yani diculik oleh pasukan yang bernama Cakrabirawa.
Cakrabirawa dipimpin langsung oleh Letnan Kolonel Untung yang diketahui berafiliasi dengan PKI.
Saat diculik di kediamannya, Ahmad Yani ditemukan sudah tewas dengan luka tembak.
Jasad Ahmad Yani kemudian dibawa dan dimasukkan ke dalam sumur yang berada di wilayah Lubang Buaya.
2. Mayor Jenderal Siswondo Parman
Jenderal Siswondo Parman atau S Parman lahir pada 14 Agustus 1918 di Wonosobo, Jawa Tengah.
Saat Jepang menjajah Indonesia, S Parman bekerja sebagai polisi militer yang dikenal dengan sebutan Kempetai.
Setelah Indonesia merdeka, S Parman memulai karier militernya dengan bergabung di TKR.
S Parman kemudian diangkat menjadi kepala staf polisi militer yang berada di Yogyakarta.
Beberapa tahun setelah itu, S Parman naik jabatan menjadi kepala staf Gubernur militer di Jabodetabek dan berpangkat Mayor.
Salah satu prestasi yang pernah diraih S Parman yakni menggagalkan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
S Parman sempat menduduki jabatan di markas besar Polisi Militer Indonesia yakni menjadi atase di militer Indonesia yang ada di London serta Inggris.
Ia bahkan memegang jabatan di Departemen Pertahanan Indonesia.
Tak lama kemudian, S Parman kembali ke Indonesia dan menjadi asisten intelijen bagi KSAD Jenderal Ahmad Yani.
Pada 30 September 1965, S Parman diculik oleh pasukan Cakrabirawa di kediamannya lalu dibawa secara paksa ke Lubang Buaya yang berada di wilayah Halim Perdana Kusuma.
Di tempat itu, S Parman ditembak bersama dengan beberapa perwira lainnya.
Jasad S Parman kemudian dimasukkan ke dalam sumur dan ditumpuk dengan jasad korban lainnya.
3. Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan
Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan atau DI Pandjaitan lahir pada tanggal 9 Juni 1925 di Balige, Sumatera Utara.
Saat Jepang menjajah Indonesia, DI Pandjaitan baru saja tamat SMA kemudian bergabung menjadi anggota Gyugun atau tentara sukarela di wilayah Pekanbaru, Riau.
Sama seperti pahlawan revolusi lainnya, setelah Indonesia merdeka, DI Pandjaitan juga mulai bergabung di TKR dengan jabatan sebagai komandan batalyon.
Pada 1948, DI Pandjaitan ditugaskan menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi.
Namun tak lama setelah itu, DI Pandjaitan beralih menjadi Kepala Staf Umum IV di Komandemen Tentara Sumatera.
Saat terjadi Agresi Militer Belanda yang ke I dan II, DI Pandjaitan turut menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, DI Pandjaitan naik jabatan menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I Bukit Barisan di wilayah Medan.
Kemudian beralih menjadi Kepala Staf T dan T II/Sriwijaya.
Tahun 1963, DI Pandjaitan dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti kursus militer di Associated Command and General Staff College di wilayah Fort Leavenworth.
Pada tahun 1960, DI Pandjaitan ditugaskan menjadi atase militer Indonesia di wilayah Bonn.
Sebelumnya, DI Pandjaitan juga pernah mengikuti kursus atase militer pada tahun 1965.
Dua tahun kemudian, DI Pandjaitan ditugaskan kembali sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution pada bagian logistik.
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, DI Pandjaitan diculik oleh pasukan Cakrabirawa dan menjadi salah satu korban G30S PKI.
4. Mayjen MT Haryono
Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono atau Mayjen MT Haryono lahir pada 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur.
Mayjen MT Haryono sempat menempuh pendidikan di Ika Dai Gakko (Sekolah Tinggi Kedokteran) di zaman Jepang, namun tidak sampai tamat.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, MT Haryono bergabung dengan TKR dan memperoleh pangkat Mayor.
MT Haryono beberapa kali mendapatkan tugas sebagai anggota delegasi Indonesia ketika perundingan dengan Inggris dan Belanda seperti pada Konferensi Meja Bundar (KMB).
Kemampuan MT Haryono ketika berunding dan memahami beberapa bahasa asing seperti bahasa Jerman, Belanda, dan Inggris menjadikan dirinya didaulat sebagai atase militer Indonesia di Belanda.
Sekembalinya ke Indonesia, MT Haryono diangkat menjadi Asisten atau Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani bagian pembinaan dan perencanaan.
5. Mayjen R Suprapto
Mayjen R Suprapto lahir pada tanggal 20 Juni 1920 di Purwokerto, Jawa Tengah.
Suprapto pernah mengikuti pelatihan militer di Koninklijke Militaire Akademie yang berada di Bandung, namun tak sampai selesai.
R Suprapto juga pernah ditahan dan dimasukan ke penjara, tetapi berhasil melarikan diri.
Ia juga diketahui sempat mengikuti sebuah pelatihan bernama keibodan, syuisyintai, dan seinendan yang diadakan oleh Jepang.
Setelah itu, ia memilih bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.
Sama halnya dengan pahlawan revolusi lainnya, setelah Indonesia merdeka R Suprapto juga bergabung ke dalam TKR.
R Suprapto berperan langsung dalam pertempuran Ambarawa bersama Jenderal Sudirman melawan tentara Inggris.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, R Suprapto ditugaskan menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang.
Ia kemudian pindah ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat dan Kementerian Pertahanan.
Selang beberapa tahun, R Suprapto kemudian dilantik menjadi Deputi (Wakil) Kepala Staf Angkatan Darat bagi daerah Sumatera yang berada di Medan.
Hingga akhirnya, R Suprapto kembali ke Jakarta sebagai salah satu perwira tinggi Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal.
Pada 1 Oktober 1965 waktu dini hari, R Suprapto dijemput oleh Pasukan Cakrabirawa dengan dalih dipanggil menghadap kepada Presiden Soekarno.
R Suprapto kemudian dibawa ke daerah Halim Perdanakusuma atau lebih tepatnya berada di lubang buaya.
6. Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo lahir pada tanggal 28 Agustus 1922 di daerah Purworejo, Jawa Tengah.
Setelah menuntaskan pendidikannya di AMS, Mayjen Sutoyo kemudian menuntut ilmu di Sekolah Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta.
Usai tamat sekolah, Mayjen Sutoyo bekerja menjadi pegawai pemerintah di Purworejo dan berhenti bekerja pada tahun 1944.
Setelah Indonesia merdeka, Sutoyo Siswomiharjo atau biasa dipanggil Pak Toyo memutuskan bergabung dengan satuan Polisi Tentara Keamanan Rakyat.
Ia lantas memperoleh tugas menjadi seorang ajudan dari Jenderal Gatot Subroto yang pada masa itu menjabat sebagai komandan polisi militer.
Pada 1954, Sutoyo Siswomiharjo menjabat menjadi kepala staf Markas Besar Polisi Militer.
Tak lama kemudian dirinya memperoleh tugas menjadi asisten atase militer di kedubes Indonesia di Inggris.
Setelah menyelesaikan sekolah staf dan komando di Bandung pada tahun 1960, Sutoyo ditugaskan menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat.
Sutoyo lalu naik jabatan menjadi Inspektur Kehakiman atau Jaksa Militer Utama dengan pangkat Brigadir Jenderal TNI.
Sutoyo Siswomiharjo termasuk salah satu daftar perwira tinggi di Angkatan Darat yang diculik oleh pasukan Cakrabirawa.
Saat itu Sutoyo dijemput oleh pasukan Cakrabirawa di rumahnya, lalu dibawa ke Lubang Buaya.
7. Kapten Czi. Pierre Tendean
Nama Lengkap dari Kapten Czi. Pierre Tendean adalah Pierre Andries Tendean.
Pahlawan revolusi yang biasa dikenal dengan nama Pierre Tendean ini lahir pada tanggal 21 Januari 1939.
Setelah menuntaskan sekolahnya, Pierre Tendean bergabung di sekolah militer Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD).
Saat sekolah Pierre Tendean juga sempat berpartisipasi dalam sebuah operasi militer memberantas pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di daerah Sumatera.
Lulus sekolah, Pierre Tendean lantas mendapat tugas menjadi seorang Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan dengan pangkat Letnan Dua.
Beberapa tahun kemudian, Pierre Tendean bergabung di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD).
Dari situlah ia memperoleh tugas sebagai intelijen di Malaysia saat Indonesia dan Malaysia mengadakan konfrontasi.
Pierre Tendean kemudian naik pangkat sebagai letnan satu dan ditarik sebagai seorang ajudan Jenderal AH Nasution.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Pasukan Cakrabirawa datang untuk menculik Jenderal AH Nasution yang menjadi target utama.
Namun karena waktu yang sangat mendesak, pasukan Cakrabirawa tidak dapat membedakan antara Pierre Tendean dan AH Nasution sehingga mereka malah membawa Pierre Tendean.
Sementara AH Nasution berhasil melarikan diri dengan melompati pagar rumahnya.
Setelah diculik, Pierre Tendean disiksa dan dieksekusi mati bersama dengan perwira tinggi Angkatan Darat lain yang telah diculik sebelumnya.
Jasad Pierre Tendean dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya daerah Halim Perdanakusuma.
(Tribunnews.com/Nurkhasanah)