Pemerintah dan Pertamina Jaga Daya Beli Masyarakat
Pemerintah dan Pertamina terus menjaga daya beli masyarakat agar perekonomian tetap tumbuh di tengah melonjaknya harga minyak mentah dunia.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah melonjaknya harga minyak mentah dunia sebagai dampak dari konflik Rusia–Ukraina, Pemerintah dan Pertamina terus menjaga daya beli masyarakat agar perekonomian tetap tumbuh.
Pemerintah telah memutuskan terus membantu masyarakat dengan menetapkan Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), agar harganya tetap terjangkau di kisaran Rp 7.650 per liter. Begitu juga dengan biosolar harganya disubsidi Pemerintah sehingga tetap Rp 5.150 per liter.
Sebagai BUMN, Pertamina juga berkontribusi nyata untuk menjaga daya beli masyarakat dengan menyesuaikan harga Pertamax yang masih jauh di bawah harga keekonomiannya yang sekitar Rp16.000. Dengan penyesuaian menjadi Rp12.500 per liter, maka Pertamina masih menanggung selisih harga jual Pertamax sebesar Rp 3.500 per liter.
Pertamina menyadari, di tengah kondisi global saat ini, tetap harus menjadi katalisator dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satunya dengan menjaga keseimbangan antara daya beli masyarakat dan memastikan kemampuan keuangan perusahaan dalam rangka menjamin suplai BBM kepada seluruh masyarakat sampai ke pelosok negeri.
Besaran penyesuaian harga Pertamax yang dilakukan Pertamina mendapat apresiasi dan dinilai banyak pihak telah mempertimbangkan masyarakat karena masih jauh dari nilai keekonomian. Pasalnya, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina menyadari kondisi daya beli masyarakat, sehingga tidak menjual harga BBM Non Subsidi dengan harga tinggi, mengambil batas atas sebagaimana yang ditentukan dalam formulasi penentuan harga BBM Umum.
Secara historis, selama ini pun harga BBM Pertamina selalu kompetitif atau selalu lebih rendah dibanding SPBU lain yang beroperasi di Indonesia.
Kita bandingkan ketika harga Pertamax (RON 92) dilakukan penyesuaian, maka harga BBM sejenis yang dijual SPBU lain harganya jauh di atas Pertamina, bahkan sampai lebih dari Rp 16.000 per liter.
Perbedaan harga juga terlihat untuk BBM Non Subsidi jenis Pertamax Turbo (RON 98). Harga di SPBU Pertamina Rp 14.500 per liter sementara SPBU lainnya ada yang menjual dengan harga Rp18.040 per liter.
Selain dari sisi harga BBM yang kompetitif, secara timing pun penyesuaian harga BBM yang dilakukan Pertamina biasanya paling akhir. Padahal operator SPBU lainnya sudah sejak beberapa bulan sebelumnya melakukan beberapa kali penyesuaian harga. Karena sebagai BUMN, Pertamina harus memperhitungkan penyesuaian harga BBM dengan matang dan penuh pertimbangan. Meskipun penyesuaian harga BBM Non Subsidi merupakan kewenangan setiap operator SPBU, tetapi Pertamina harus mempertimbangkan faktor sosial ekonomi masyarakat.
Banyak faktor yang mendorong Pertamina harus menyesuaikan harga BBM Non Subsidi. Pertama, harga BBM dan LPG di seluruh dunia naik karena peningkatan aktifitas masyarakat dan peningkatan situasi geopolitis Rusia-Ukraina yang menyebabkan berkurangnya supply minyak mentah dunia.
Kedua, Pertamax dan Pertamax Turbo merupakan BBM Non Subsidi, yang selama ini volume penjualannya hanya sebesar 14% dari total volume penjualan seluruh jenis BBM Pertamina. Yang membeli juga sebagian besar adalah masyarakat mampu yang menggunakan kendaraan mewah. Sebelum pandemi, harga Pertamax Series ini mengikuti harga pasar. Sehingga seiring pulihnya perekonomian nasional, Pertamina melakukan penyesuaian.
Secara global, harga BBM dan LPG di Indonesia termasuk yang termurah di dunia karena disubsidi Pemerintah. Selain LPG 3 kg, harga Biosolar dan Pertalite pun dijaga stabil, tidak ada kenaikan. Hal ini untuk mendukung upaya stabilitas perekonomian nasional dan menghindari terjadinya kenaikan harga logistik, baik di angkutan barang maupun orang mengingat 2 Jenis produk ini merupakan BBM yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, yaitu sebesar 83% dari total penjualan seluruh BBM retail Pertamina.
"Baik Biosolar maupun Pertalite merupakan jenis BBM yang mendapatkan dukungan dari Pemerintah dalam bentuk subsidi atau kompensasi, sehingga harganya tetap," jelas Fajriyah.
Seperti yang kita ketahui, setiap 1 liter Biosolar yang dibeli masyarakat, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp7.800. Nilai subsidi ini 150% atau 1,5 kali lebih tinggi dari harga yang jual ke masyarakat sebesar Rp5.150.