Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jerapah Pemberian Soeharto untuk Mandela

IT was the opposite of grand, but it was my first true home of my own and I was mightily proud. A man is not a man until he has a house of his own

Editor: Tjatur Wisanggeni
TRIBUNNEWS.COM -- Rangkaian kata di atas membuat saya terpana. Sebuah simbolisasi perpaduan antara semangat membara dan gengsi sebagai seorang pria sejati, yang memiliki banyak makna menggigit, terutama bagi mereka yang sudah berstatus sebagai suami.

Rumah, bagi siapapun adalah rangkaian simbol yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan keluarga. Rumah bisa menjadi pelindung, tempat berkomunikasi dan sudah pasti memberi pengakuan terhadap identitas kemandirian seseorang.

Rangkaian kalimat di atas memang memiliki cita rasa penafsiran tersendiri bagi siapapun yang membaca.

Bagi Mandela, dimensi rumah ada dua, rumah sebenarnya untuk sang keluarga plus rumah sebagai negara yang harus ia bangun dan pertahankan. Baginya, sebuah negara sama seperti rumah, di mana orang-orang bisa berkomunikasi dengan baik tanpa ada perbedaan, menunjukkan bangsa yang mandiri dan mampu hidup dalam kesatuan apapun yang terjadi.

Kalimat tersebut tepat berada di samping daun pintu eks rumah Nelson Mandela yang kini berubah menjadi Museum Nelson Mandela. Rumah hook di ujung pertemuan antara jalan Vilakazi dan jalan Ngakane tersebut kini menjadi sebuah simbol negara yang menyimpan banyak nilai historis tentang tokoh pemersatu bangsa Afsel tersebut, sang penghenti rezim Apartheid.

Rumah bercat coklat tersebut sejatinya berada di 81115 Orlando Sweet, Soweto. Sebuah rumah mungil, hanya berukurang bangunan sekitar 6 x 10 meter saja, namun dengan penataan yang sangat rapi.

Di bagian depan terdapat taman dengan pepohonan yang sampai saat ini berstatus orisinil. Dulu, saat masih ditinggali Nelson Mandela pada rentang tahun 1946-1958 dan sebelas hari pada tahun 1990, belum ada pagar keliling yang membatasi rumah itu dari jalan raya.

Namun karena seringnya polisi menggerebek rumah tersebut, membuat istri kedua Mandela, Nomzamo Winifred Madikizela alias Winnie Mandela, membuat pagar sederhana untuk sekedar menahan peluru. Selain itu, sisi dapur juga dibuat dari batu keras, sebagai tempat untuk berlindung dari serangan kawanan yang menginginkan kematian keluarga mereka.

Berita Rekomendasi

Kini, rumah bergaya minimalis tersebut sudah menjadi bagian dari negara. Museum Nelson Mandela mampu memberikan gambaran kalau perjuangan harus dimulai dari hal kecil. Di dalam rumah, masih ada perkakas Mandela yang tersisa. Seperti di ruang tamu misalnya, masih terdapat meja tamu dari kayu, beserta dengan dua kursi.

Ihwal dua kursi ini berlatar Mandela sangat selektif dalam menerima tamu. Hal ini bertujuan untuk seminimal mungkin ada kontak dengan orang luar, terutama untuk menjaga keselamatan istri dan anak.

Namun yang paling membuat saya terkesima tentu saja apa yang tersaji di atas lemari kecil tepat di bagian ujung ruang tamu ini. Di sana ada enam barang pajangan, yakni tiga foto yang mencerminkan kedekatan Mandela dengan dunia luar, dua gerabah dan satu yang sangat mengejutkan buat saya, yakni ada patung jerapah.

Mungkin sekilas itu tak ada artinya bagi siapapun, termasuk para turis yang silih berdatangan, hanya melewati begitu saja. Namun buat saya, ada fakta mengejutkan yang disampaikan seorang guide lokal bernama Jessie Jeane. Menurutnya, patung jerapah tersebut adalah pemberian pemerintah Indonesia, yang dikirim langsung dari Presiden Soeharto begitu Madiba lepas dari penjara Robben Island pada tahun 1990.

Madiba sendiri hanya sebelas hari kembali ke rumah barunya itu, dan memutuskan untuk meletakkan patung jerapah itu sebagai bagian dari enam koleksi lemari kecil di ruang tamunya. "Saya kurang tahu detail perjalanan patung jerapah itu, tapi kami diberitahu kalau itu pemberitan dari Soeharto sebagai simbol pertemanan dan motivasi pada Papa Madiba untuk terus menjadi yang tertinggi," jelas Jessie.

Patung jerapah setinggi sekitar 50 cm tersebut berwarna khas hewan gurun, coklat. Arah kepalanya tengah menengok ke kiri, yang katanya simbolisas dari perlawanan seorang Madiba. Patung ini sebenarnya sangat menonjol, sayang mungkin tidak menarik perhaian bagi siapapun, karena bisa jadi Indonesia tak terlalu penting bagi sang guide, kecuali kalau ada orang Indonesia seperti saya yang datang ke sana.

Tapi apapun itu, saya selalu bangga dengan Indonesia selama berada di Afsel. Ternyata Indonesia memang menjadi satu di antara negara yang mendukung Madiba untuk membawa Afsel keluar dari Apartheid.

 "Indonesia selalu kami kenal, karena beberapa kali disebut dalam sejarah panjang Afsel di sekolah. Saya juga banyak kenalan dari Indonesia," kata Jessie, yang sangat fasih berbicara `terima kasih'. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas