Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Akhirnya Saya Temukan Sayur Juga (1)

ADA satu anekdot tentang masyarakat Afrika pada umumnya dan Afrika Selatan (Afsel) pada khususnya. Tubuh atawa badan mereka terbilang besar karena saban hari santapan utama adalah daging.

Editor: OMDSMY Novemy Leo
zoom-in Akhirnya Saya Temukan Sayur Juga (1)
ist
Ilustrasi 
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurfahmi Budi

ADA satu anekdot tentang masyarakat Afrika pada umumnya dan Afrika Selatan (Afsel) pada khususnya. Tubuh atawa badan mereka terbilang besar karena saban hari santapan utama adalah daging.

Nyatanya, semua itu memang menjadi realitas. Sudah hampir tiga pekan saya berada di bumi Nelson Mandela ini, setiap hari hanya daging dan daging yang menjadi bahan makanan utama.

Sebagai orang Asia, kapasitas perut menjadi sangat terbatas kalau daging yang masuk. Walhasil, satu hal yang selalu saya cari tak lain adalah warung, supermarket atau pasar swalayan yang menyediakan sayur mayur segar ala Indonesia seperti kol, bayam ataupun kangkung.

Tapi, itu semua bukan pekerjaan mudah, karena yang ada hanyalah daging lagi, daging lagi.

Asal tahu saja, daging di sini memang tersedia bejibun, tak heran kalau harganya terbilang murah. Untuk daging ayam misalnya, kalau dirupiakan hanya sekitar Rp 8 ribu per kilogram untuk ukuran baik, daging sapi dan kambing juga sama, lebih murah dibanding apa yang ada di Indonesia.

Daging ternak besar tersebut memang bukan urusan sulit di Afrika umumnya dan Afsel khususnya. Di Afsel saja, nyaris setiap daerah pinggiran memiliki peternakan sapi daging yang dipersiapkan bagi konsumsi makanan orang-orang di kota, dan untuk mereka sendiri.

Meski sudah cukup menyerah untuk mencari sayuran segar, saya selalu iseng-iseng untuk mendapatkan itu. Dan hari keberuntungan itu kembali datang. Saat saya sedang berkeliling mencari jalan untuk menuju ke sebuah lokasi bernama Cambanos, Midrand, saya sedikit tersesat di kawasan perumahan, tak jauh dari jalan utaram Brooklyn Street.

Berita Rekomendasi

Tak dinyana, saat saya menurunkan kecepatan mobil hanya untuk mencari bantuan ke mana arah yang tepat menuju Cambanos, saya tertarik dengan sebuah toko berbahasa Cina dengan tulisan latin YATKE.

Penasaran, saya pun turun dari mobil, berjalan ke arah toko tersebut. Saat berada di beranda, saya harus turun tangga untuk menuju ke arah toko. Kejutan muncul karena tepat di bawah tangga, ada restoran Cina yang menawarkan nasi ala Indonesia!.

Sang pelayan bernama Cheng Lee, mengaku, nasi yang dibuat restorannya sebagian besar memang diperuntukkan bagi lidah orang Asia, tidak hanya Cina melainkan juga Indonesia, Malaysia dan Thailand.

"Semua asli, kami mendatangkan ini dengan sistem tersendiri. Kalau Anda ingin buktikan silakan saja, saya bisa menjamin itu," sebutnya.

Ajakan itu saya tolak halus, karena memang saya belum lama makan nasi, lagi-lagi dengan lauk daging. Bersebelahan dengan restoran `berjudul' bahasa Cina tersebut, di situlah toko YATKE berada.

Bentuknya sekilas hanya sebagai toko swalayan saja. Tak ada yang istimewa di sana, karena memang di dalamnya berisi barang-barang konsumsi seperti snack, bumbu-bumbu ala Cina sampai mie instan.

Saya baru terkejut saat melihat tumpukan rak di samping pintu sebelah kiri YATKE, sesuatu yang memang luput dari pandangan bagi orang yang pertama kali datang ke tempat itu.

Begitu mendekat, mata saya pastilah terlihat berbinar. Pasalnya, ternyata rak-rak tersebut berisi sayur mayur yang selama ini saya cari, sangat khas tropis!.

Di sana ada daun So, kol dan setumpuk kangkung yang sangat menggiurkan. Tak pelak, saya pun langsung bertanya pada sang pemilik toko, yang memiliki nama latin Tina dan nama Cina Lee Ti Na.

"Benar, itu sayuran segar ala Asia, seperti asal Anda Indonesia. Kami mengambilnya langsung dari tanah leluhur kami, dan beberapa jenis saya tanam sendiri di belakang rumah. Saya punya pelanggan sendiri, dan saya senang dengan mereka, karena sayuran saja selalu segar," sebut Tina, yang masih sedikit susah berbahasa Inggris.

Harga yang dibandrol pun tidak terlalu mahal, dengan rataan hanya 10-20 Rand atau sekitar Rp 13 ribu-Rp 26 ribu untuk lima ikat. Walhasil, seperti orang kalap, saya pun memborong.

Dalam bayangan saya, besok bakal menjadi sarapan ternikmat dengan memnbuat sop segar, karena saya sudah memiliki cadangan nasi ala Indonesia. Sruupp...nikmat terasa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas