Kerja Nyambi Jadi Pelayan Bar Sampai Binatu (2)
DI Afrika Selatan (Afsel), pemuda asal In
Editor: OMDSMY Novemy Leo
DI Afrika Selatan (Afsel), pemuda asal Indonesia yang tengah menempuh pendidikan tinggi sebenarnya ada empat orang. Namun, Tribunnews,com hanya bisa menemui dua orang saja yang berbasis di Pretoria. Selain Berdina Sara Indrabhuwana Purba dan Damianus Moa, masih ada Michael Suwandi serta Dedi Ali.
Saya sudah berusaha untuk mengontak dua lainnya, usaha itu gagal. Namun paling tidak, cerita tentang bagaimana mereka bisa memilih negara terujung di dunia, bisa didapat dari dua pemuda kita yang berhasil dijumpai Tribun.
Hidup merantau di negara yang harus ditempuh 12 jam via Malaysia, 18 jam via Dubai dan 22 jam lewat Hongkong ini, tentu saja memiliki konsekuensi tersendiri. Kemandirian menjadi hal paling utama yang harus mereka rasakan.
Perubahan sistem di Indonesia, mulai dari cuaca, makanan sampai gaya hidup ala Eropa yang ada di Afsel, selain tentu saja kriminalitas, sudah jadi hal yang lumrah bagi mahasiswa asal Indonesia.
Mereka mengungkapkan, masa sosialisasi dan adaptasi tak cukup setahun, minimal 1,5 tahun baru bisa mengenal bagian permukaan, belum apa yang sebenarnya ada di dalam kehidupan masyarakat Afsel, yang terdiri dari tiga jenis manusia: kulit hitam, kulit putih dan colourd.
Awal berada di Afsel menjadi ujian paling berat bagi mereka, terutama masalah kedisplinan dan penyesuaian diri. "Dulu, kami benar-benar tak mengerti apa-apa. Tidak tahu dimana harus beli bahan makanan, selalu tersesat karena jalanan yang cukup membingungkan, sampai tak mau keluar pada malam hari mengingat warning tentang kriminalitas yang sangat tinggi di sini," ucap Dumi.
Suasana tersebut terjadi sampai sekitar dua bulan. Setelah itu barulah mereka memutuskan untuk membeli peta, memberanikan diri naik taksi ala Afsel yang `menyeramkan', sampai akhirnya berani membawa mobil sendiri.
"GPS menjadi andalan kami, meski kadang teknologi itu juga malah membingungkan karena ada beberapa jalan yang tak terpantau satelit, tapi itulah resiko yang malah membuat kami menjadi tahu jalanan yang aman dan tidak," imbuh Dumi.
Namun yang paling menarik dari kisah mereka tentu saja cara bagaimana mereka bisa survive dengan keterbatasan kiriman uang, sekaligus menguji kemandirian.
Dumi misalnya, saat mengawali kuliah di University of South Africa (UNISA) pada jurusan Ilmu Komunikasi serta Pelatihan Bisnis, cowok berusia 24 tahun ini rela menjadi `buruh kasar' denga pendapatan di bawah rata-rata orang Afsel asli.
Pria alumnus SMU Regina Pacis Bogor ini pernah menjadi Barman di Grafters Tavern Pretoria dengan bayaran hanya 17 Rand atau sekitar Rp 21 ribu per jam, padahal orang lokal dibayar dengan minimal 30 Rand atau sekitar Rp 390 ribu per jam. Dalam sehari, rata-rata ia bekerja 5-6 jam, namun hanya pada hari-hari tertentu saja ia mengambil pekerjaan tersebut.
Setelah barman, Dumi pun merasakan turun langsung menjadi pelayan di tempat yang sama. Bayarannya sudah cukup lumayan, yakni sekitar 2 ribu Rand atau sekitar Rp 2,6 juta per bulan. Namun semua itu masih jauh dari standar orang lokal, yang bisa mencapai angka 5 ribu Rand atau sekitar Rp 6,5 juta per bulan.
"Semua itu menjadi sebuah pelajaran. Memang tak mudah untuk mandiri, tapi dengan kerja keras semuanya bisa teratasi dengan baik," ujar Dumi, yang memiliki alamat Indonesia di jalan Pacilong Nomor 17 Bogor, Jawa Barat. Terakhir, Dumi juga pernah merasakan menjadi tukang cuci baju hanya untuk membayar sewa apartemen.
Lain lagi dengan kisah Dina. Untuk menambah uang saku yang diberikan orang tua, cewek yang kini sudah tinggal tingkat terakhir alias menunggu semacam skripsi, rela menyisihkan waktu menjadi seorang presenter.
Cewek yang satu ini memang memiliki kualitas suara yang cukup bagus. Dalam sehari, jika tengah beruntung, tarif seorang Dina bisa mencapai angka 500 Rand atau sekitar Rp 650 ribu per hari.
"Namun tetap saja saya harus berhemat luar biasa. Pergi malam ke tempat hiburan misalnya, benar-benar tidak seperti di Jakarta. Di sini semuanya serba mahal, sehingga harus dihitung dengan cermat setiap pengeluaran. Satu-satunya jalan ya dengan kerja part time hanya demi mencari hal-hal lain, karena kiriman orang tua memang hanya cukup untuk kuliah saja," sebut Dina, yang selama perhelatan putaran final piala dunia 2010 ini, menjadi LO bagi Castrol.
Mengenai sistem pengaturan kerja serta belajar, Dina dan Dumi serta mahasiswa Indonesia lain memiliki insting untuk melatih tersendiri.
"Kami biasanya sudah menghitung apa yang akan terjadi. Belajar adalah prioritas utama, jadi kalau ada pekerjaan, kami harus menyesuaikan itu dengan jadwal belajar, kuliah ataupun bimbingan. Jadi belajar dan kuliah lancar, mencari uang pun tak menjadi masalah besar," kata Dina.
Cewek yang beralamat di Villa Bogor Indah Blok CC-16 nomor 6-7, Kedung Malang, Talang, Bogor, Jawa Barat ini dalam sebulan harus membayar apartemen 3500 Rand atau sekitar Rp 4,55 juta per bulan, dengan pengeluaran terminim berada di angka seribu Rand atau sekitar Rp 1,3 juta.