Selalu Menangis Saat 17 Agustus (3)
MATAHARI belum lagi menampakkan sinar hangat. Namun Dina, mahasiwa di A
Editor: OMDSMY Novemy Leo
MATAHARI belum lagi menampakkan sinar hangat. Namun Dina, mahasiwa di Afrika Selatan (Afsel) asal Indonesia sudah sangat bersemangat untuk bangun, mengambil peralatan mandi, dan 20 menit kemudian sudah selesai mengenakan pakaian rapi. Setelah sarapan, ia tak lupa mengambil bendera Merah Putih kecil yang siap dikibar-kibarkan.
Pagi itu, ia dan ratusan warga Indonesia yang ada di Afrika Selatan, akan melakukan acara terkhidmat sepanjang tahun, yakni upacara bendera memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan RI.
Kegiatan ini menjadi ajang silaturahmi paling teratur, selain tentu hubungan komunikasi antarpersona dalam kehidupan sehari-hari. Tapi bagi Dina dan orang Indonesia lain, berkumpul untuk melihat pengibaran bendera Merah Putih tepat pada hari bersejarah itu adalah hal paling istimewa.
Di sanalah, ia bisa merasakan kerinduan yang luar biasa kepada tanah air. Apalagi bagi Dina yang sudah tak pernah pulang ke rumah sejak lima tahun, sebelum `berhasil' pulang melihat tanah airnya pada Desember 2009.
"Kalau masalah lain, saya masih bisa menahan air mata ini. Tapi tidak pada saat 17 Agustus, itu adalah momen luar biasa yang membuat mata ini basah luar biasa. Kerinduan itu begitu kentara, dan saya selalu ingat pada orang tua, adik-adik dan semua teman-teman yang telah memberikan cerita indah di Indonesia. Apalagi saya sangat jarang pulang, jadi semakin terasa," cerita Dina.
Dumi pun demikian. Bahkan, sebelum berangkat ke acara upacara 17 Agustus, ia sudah menyiapkan tisu atau handuk khusus untuk mengantisipasi air mata yang akan jatuh bercucuran.
"Bagi mahasiswa yang jauh dari orang tua, momen itu bisa menjadi pelipur lara kerinduan. Di sana berkumpul banyak orang tua yang bisa menjadi ajang tukar pengalaman. Paling tidak, mereka menganggap kami sebagai anak. Namun setelah itu, tetap saja mata kami basah, sesuatu yang sangat mengharukan bagi kami, anak muda Indonesia di Afsel," tukas Dumi.
Saat ditanya tentang apakah mereka akan kembali ke Indonesia, Dumi dan Dina mewakili teman-temannya mengungkapkan, pulang ke tanah air adalah prioritas utama. Tapi semua itu akan dilakukan jika sudah memiliki pengalaman, jaringan luas dan modal materi yang cukup untuk memulai sebuah bisnis sendiri.
"Di sini kami mandiri, dan itu akan tetap kami lakukan di Indonesia. Bisnis adalah solusi terbaik, dan di sinilah kami harus mencari banyak kenalan, sehingga saat kami pulang, semuanya sudah siap," sebut Dina, yang mengobati rindu dengan fasilitas Facebook karena untuk telpon langung terasa sangat mahal.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.