Laporan wartawan Tribunnews.com, Deodatus Pradipto dari Moskow
Jumat (22/6) siang saya memutuskan mampir ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Federasi Rusia dan Belarusia.
Saya telah membuat janji dengan Sekretaris I Enjay Diana untuk bertemu di KBRI yang terletak di Jalan Novokuznetskaya, Moskow.
Setelah makan siang di kantin KBRI, kami berbincang-bincang santai. Pak Enjay mengajak saya pindah ke halaman depan, duduk di bawah pohon rindang.
Kami sedang berbicara banyak hal saat tiba-tiba Pak Enjay menyapa seseorang dari arah belakang saya. Dia kemudian mengajak saya ke dalam untuk bertemu dengan seseorang yang memang sedang dia tunggu.
Orang itu adalah Profesor Sudaryanto Yanto. Usianya sudah 77 tahun. Apa yang membuat saya terkesan kemudian adalah perjalanan hidupnya.
Profesor Sudaryanto termasuk orang lama yang tinggal di Moskow. Dia tiba di Moskow pada Desember 1964. Waktu itu dia mendapatkan kesempatan melanjutkan jenjang pendidikan perguruan tinggi di Moskow.
Tak lama pendidikannya dimulai, terjadi pergolakan politik yang dipicu oleh peristiwa G30S/PKI.
Buntut dari peristiwa itu, Profesor Sudaryanto, yang saat itu masih berusia 23-24 tahun, dihadapkan pada suatu kebijakan yang memberatkan. Dia harus menentukan, pulang ke Indonesia atau paspornya dicabut.
"Saya di sini masih belum bisa memutuskan apa-apa karena baru datang dan pelajaran baru mulai. Saya kemudian memutuskan untuk belajar terus," tutur Profesor Sudaryanto.
Beliau kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3. Setelah mendapatkan gelar PhD, Beliau memutuskan bekerja di Rusia di bidang koperasi.
Dia bekerja di laboratorium penyelidikan pasar di Institut Koperasi Moskow, sekarang Universitas Koperasi Rusia.
"Saya waktu itu syok, tapi berpikir ini adalah batas kehidupan baru. Saya dengar dari keluarga bagaimana situasi di sana yang waktu itu berat dan disarankan jangan muncul dulu," kata kakek dari tiga cucu itu.
"Bagi yang nekat muncul akhirnya ada yang masuk penjara. Hal yang paling celaka itu bukan hanya saya, tapi keluarga saya akan kena masalah," sambung Profesor Sudaryanto.
Profesor Sudaryanto sempat menyandang status stateless alias tanpa kewarganegaraan. Oleh pemerintah Uni Soviet saat itu, Beliau diberi status imigran.
Selama menyandang status ini dia diberi kesempatan untuk bekerja dan berbagai hal, namun ruang geraknya terbatas. Satu contohnya adalah Beliau tidak bisa memiliki jabatan di sebuah intitusi.
Beliau akhirnya memutuskan menjadi warga negara Rusia pada 1997. Butuh waktu selama 31 tahun bagi Profesor Sudaryanto untuk memiliki kewarganegaraan.
Dia mengaku melakukan itu secara sengaja.
"Saya berharap nantinya Indonesia akan menerima lagi. Saya berharap kembali ke Indonesia lagi. Saya sengaja tahan," tutur Profesor Sudaryanto.
Bagi Profesor Sudaryanto, hal terberat tidak bisa pulang ke Indonesia adalah tidak bisa bertemu keluarga. Tak hanya tidak bisa bertemu, komunikasinya dengan keluarga di Indonesia sangat minim karena sulit.
Dulu tidak ada telepon sehingga cara berkomunikasi adalah melalui surat. Surat juga lama untuk bisa sampai ke tangannya atau keluarga, bisa sampai tiga bulan. Tidak semua surat yang dikirim ke atau darinya bisa sampai tujuan karena ada proses sensor.
Pada 1997 dia melihat ada tanda-tanda bisa kembali ke Indonesia. Namun demikian, untuk mewujudkan keinginan itu dia harus menjadi warga negara Rusia. Menurutnya itu adalah cara pragmatis agar bisa kembali ke Indonesia. Bagi Profesor Sudaryanto, kembali ke Indonesia dan bertemu keluarganya adalah mimpi.
"Ada adik saya yang lahir tanpa saya. Ada cucu, keponakan, ada yang menikah, ada yang meninggal. Banyak kejadian keluarga yang terjadi di luar sepengetahuan saya," ujarnya.
Kesempatan untuk pulang ke Indonesia akhirnya terwujud pada tahun 2000. Untuk pertama kali setelah puluhan tahun Beliau bisa bertemu keluarganya.
Masa-masa awal bertemu kembali dengan keluarga tidak mudah. Selama seminggu pertama Beliau tidak banyak bicara. Keluarganya juga merasa segan, seperti orang yang baru pertama kali bertemu.
"Saya rindu mendengarkan suara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Di sini semua orang berbicara bahasa Rusia. Saya juga rindu cuaca Indonesia," kata pria asal Blitar, Jawa Timur itu.
Kini Profesor Sudyanto telah pensiun. Kegiatannya sehari-hari adalah menjadi jembatan bagi pebisnis Rusia dan Indonesia. Dia akan membantu mencarikan pebisnis Rusia yang ingin mencari rekan bisnis di Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Sebelumnya dia menjadi penghubung perguruan-perguruan tinggi di Rusia dan Indonesia. Dia juga kerap memberikan kuliah di Indonesia.
"Tujuan saya adalah membantu hubungan Indonesia dan Rusia menjadi baik sehingga Indonesia bisa maju. Apa yang saya bisa harus saya sumbangkan untuk itu," kata pria yang pernah meminta rehabilitasi.
Berdasarkan pengalamannya tinggal di Rusia dan menjadi warga negara Rusia, Profesor Sudaryanto memaparkan Rusia yang sebenarnya.
Menurut Beliau orang Rusia sebetulnya hampir sama dengan orang Indonesia. Orang Rusia adalah orang yang berterus terang. Beliau bilang apa yang disampaikan oleh Dunia Barat soal Rusia telah dipolitisasi.
"Ketika mereka ke sini sendiri, mereka tidak menemukan buktinya," ujarnya.
Profesor Sudaryanto kecewa terhadap penggunaan isu komunisme di Indonesia belakangan ini. Menurutnya itu adalah hal usang. Beliau mengimbau bangsa Indonesia untuk melihat ke depan, jangan terikat oleh beban di masa lampau.
"Memang kita harus mengakui Indonesia punya sejarah yang cukup berat. Kita pelajari, tapi jangan dijadikan momok. Sejarah ada supaya kita belajar untuk maju," katanya.
Posisi Indonesia dengan Rusia saling menguntungkan dan menghormati. Tidak ada unsur ideologi dalam hubungan dua negara. Profesor Sudaryanto bahkan meminta masyarakat Indonesia untuk mempelajari ketekunan orang Rusia dalam mempelajari keilmuan.
"Indonesia memiliki pasar yang besar di Rusia. Karet, kopi, rempah-rempah, ikan tuna, komponen elektronika, mebel rotan, kain, sepatu, dan masih banyak lagi. Kalau jasa adalah turisme," paparnya. (Tribunnews/deo)