Laporan wartawan Tribun Deodatus Pradipto dari Nizhny Novgorod
Begitu pertandingan babak perempat final Piala Dunia 2018 antara tim nasional Uruguay dan Prancis di Stadion Nizhny Novgorod, Jumat (6/7) berakhir, saya melangkahkan kaki menuju sebuah pusat perbelanjaan yang berada di depan stadion.
Maksud hati hendak mengisi perut karena jam telah menunjukkan waktunya makan malam.
Sambil berjalan, saya melihat seorang pria dan dua anak kecil laki-laki berjalan ke arah yang sama. Dari wajah dan fisiknya saya berasumsi mereka berasal dari Indonesia. Saya memutuskan untuk berjalan di belakang mereka sambil menguping bahasa yang mereka gunakan.
Saya langsung yakin mereka berasal dari Indonesia begitu mendengar seorang anak di antara mereka berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Saya memutuskan bertanya kepada mereka, "Dari Indonesia, Pak?"
Betul, mereka berasal dari Indonesia. Saya lalu memperkenalkan diri sebagai wartawan dari Tribun. Mereka juga baru selesai menonton pertandingan yang dimenangkan oleh tim nasional Prancis itu.
Dari arah depan mereka ternyata ada seorang pria asal Indonesia lain. Usianya lebih tua daripada mereka. Pria itu ternyata Zulfan Lindan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dari Partai Nasdem. Tujuan saya dan Zulfan Lindan ternyata sama, yaitu mencari tempat untuk makan malam. Dia mengajak saya turut serta.
Zulfan ke Rusia dalam rangka menonton pertandingan-pertandingan Piala Dunia 2018. Dia datang bersama seorang anak, menantu, dan tiga cucunya. Zulfan mengaku sebenarnya tidak memiliki keinginan besar untuk datang ke Rusia.
"Saya sebenarnya senang nonton bola, pecandu bola, tapi keinginan saya untuk datang ke sini tidak terlalu besar," tutur Zulfan.
Namun demikian, Zulfan akhirnya goyah juga ketika Mirza, cucunya, minta pergi ke Rusia untuk menyaksikan Piala Dunia 2018. Menurut anggota DPR dari daerah pemilihan Nangroe Aceh Darussalam II itu Mirza sangat menyukai sepak bola.
Tak sekadar suka menonton pertandingan sepak bola, Mirza juga menimba ilmu sepak bola di sekolah sepak bola. Tim nasional Prancis adalah tim favorit Mirza.
"Cucu saya ini pemain bola di sekolahnya, hobi bola, jago bola, tiap hari main bola, tidur peluk bola. Dia minta harus ke Rusia untuk Piala Dunia," ujar Zulfan yang disapa Bapak oleh cucunya..
Mirza membenarkan hal tersebut. Secara polos dia bilang semua urusan jalan-jalan selalu melibatkan bapak. Oleh karena itu dia minta Zulfan untuk pergi ke Rusia.
"Aku minta ke sini karena mau nonton bola. Seru sekali karena bisa melihat pemain-pemainya secara langsung di lapangan," kata Mirza yang mengidolakan Kylian Mbappe, penyerang tim nasional Prancis.
Tantangan Mentalitas Masyarakat Indonesia
Menonton pertandingan sepak bola di luar negeri bukan hal baru bagi Zulfan Lindan. Dia pernah menonton pertandingan-pertandingan liga Spanyol dan Liga Champions Eropa. Namun demikian, baru kali ini Zulfan mendapatkan kesempatan menonton langsung pertandingan Piala Dunia.
Piala Dunia 2018 membuat Zulfan bercermin pada masyarakat di Indonesia. Zulfan memuji bagaimana masyarakat Rusia menjaga ketertiban sehingga membuat Piala Dunia 2018 terasa nyaman dan aman, terutama bagi pencinta sepak bola dari seluruh dunia, yang datang.
"Mentalitas itu yang paling mahal. Dari kajian mentalitas, kita memang masih tertinggal jauh dari Rusia," ujar Zulfan.
Mentalitas ini yang menjadi tantangan bagi Indonesia jika ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia. Menurut Zulfan menyiapkan infrastruktur untuk menunjang Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah hal yang mudah. Namun demikian, hal yang membuat Indonesia belum siap menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah mentalitas masyarakatnya.
"Sebentar lagi Indonesia akan jadi tuan rumah Asian Games. Kalau kita tidak menjaga secara baik, citra Indonesia akan rusak," kata kakek dari 10 cucu itu.
Zulfan Lindan mengajak masyarakat Indonesia untuk belajar dari bagaimana masyarakat Rusia mendukung pelaksanaan Piala Dunia 2018. Zulfan merasa masyarakat Rusia berusaha untuk tidak mengganggu para pencinta sepak bola dari berbagai negara yang datang.
"Pendidikan mental harus dilakukan jangka panjang dan terus-menerus. Itu yang berat untuk kita," ujar Zulfan.