Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ini Pernyataan Lengkap Saraswati Tanggapi Cuitan Paha Mulus dari Politikus Demokrat

dugaan pelecehan dialamatkan kepada Saraswati, yang juga merupakan keponakan Prabowo Subianto.

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Ini Pernyataan Lengkap Saraswati Tanggapi Cuitan Paha Mulus dari Politikus Demokrat
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Bakal calon Walikota Tangerang Selatan Muhamad bersama bakal calon Wakil Walikota Rahayu Saraswati usai menyerahkan berkas pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tangerang Selatan, Banten, Jumat (4/9/2020). Pasangan Muhamad dan Rahayu Saraswati resmi mendaftarkan diri sebagai kontestan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Tangerang Selatan tahun 2020. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Jujur. Sebenarnya yang marah itu justru tim saya yang mendampingi saya dan mengerti betul perjuangan saya sebagai aktivis perempuan dan anak. Bagi saya, mungkin karena hal seperti ini sudah jadi makanan sehari-hari (istilahnya), saya tidak begitu memikirkan. Apalagi memang selama dua hari setelah cuitan itu muncul, kegiatan di lapangan full, maka saya tidak ada waktu untuk memikirkan soal drama twitter itu.

Media bolak balik menghubungi. Statement saya jelas. Bahwa saya kecewa ada tokoh politik yang mengobjektifikasi perempuan, apalagi seorang calon pimpinan daerah. Tapi kalau memang bukan saya yang dimaksud, ya mungkin saja yang dimaksud adalah rival-rival saya yang notabene adalah laki-laki semua, karena jelas yang disebut adalah “calon wakil walikota Tangsel” bukan calon walikotanya. Ya, kalau demikian… tentu itu hak dua calon yang lain untuk menanggapi.

Namun kembali lagi saya tersentak saat membaca postingan kawan saya, sahabat seperjuangan perempuan yang memprotes di media sosialnya bagaimana sudah kerapkali hal serupa terjadi di seluruh Indonesia dan dialami begitu banyak perempuan sehingga telah terjadi “normalisasi”.

Pernyataannya menghentak saya karena reaksi saya yang menganggap cuitan di Twitter itu sebagai hal sepele dan biasa-biasa saja adalah CONTOH NYATA bagaimana kita telah terprogram untuk menerima objektifikasi dan pelecehan seksual verbal sebagai hal biasa dan BAHKAN sebagai “pujian”.

Lalu muncul pertanyaan, apakah akan saya laporkan secara hukum. Sekali lagi, kegiatan sangat padat dan saya fokus sosialisasi kepada masyarakat. Saya sampaikan bahwa akan saya pertimbangkan.

Namun mulai muncul juga dorongan dari para pejuang perempuan dan aktivis anti kekerasan seksual. Ada juga yang menanyakan komitmen saya untuk mendukung para korban dan penyintas jika saya saja sebagai figur yang selama ini memperjuangkan nasib mereka tidak memberikan contoh dan mengambil sikap.

Tetapi malam ini saya tiba pada titik akhir (menurut saya) di mana saya melihat mulai bermunculan komentar yang kira-kira bunyinya demikian: “ya mungkin perlu dipertimbangkan… kalau dia tidak berpakaian seperti itu hal seperti ini tidak akan muncul.”
Lalu keluar juga foto yang digunakan sebagai bahan serangan politik identitas dari beberapa bulan sebelum kepastian majunya saya di pilkada Tangsel yang dikait-kaitkan seolah-olah saya melakukan pembodohan publik.

Berita Rekomendasi

Nahh… MARI JO KITA BERDISKUSI SOAL INI!

1. Pelecehan seksual dalam bentuk verbal melalui tulisan yang diunggah di medsos tetap sebuah pelecehan. Jika ibu anda yang dibicarakan bagian tubuhnya, apakah anda akan merasa tenang-tenang saja? Kalau iya, selesai pembicaraan, bisa stop di sini karena nggak akan nyambung kita.

2. Jika lalu yang disalahkan adalah cara korban/penyintas/perempuan berpakaian maka terjadilah reviktimisasi. Silakan cek https://www.huffingtonpost.ca/2018/01/15/what-were-you-wearing-exhibit-brussels_a_23333795/ maupun link-link lain tentang sebuah gallery exhibition yang menunjukkan pakaian yang dikenakan oleh para penyintas kekerasan seksual saat mereka mengalami kekerasan tersebut.

Bagaimana dengan kasus-kasus kekerasan di mana perempuan menggunakan baju yang sangat sopan tetapi tetap mengalami kekerasan tersebut? Bagaimana dengan para TKI kita yang mengalami kekerasan tersebut padahal pasti berpakaian sopan selama bekerja di rumah orang lain, bahkan seringkali mengenakan seragam yang disiapkan? Bagaimana dengan anak-anak usia balita, 10 tahun, 15 tahun, yang mengalami kekerasan? Apakah pakaian yang mereka kenakan salah? Jika ada seorang perempuan berjalan bugil, apakah itu alasan untuk dia bisa diperkosa? “Oh, ya dia seharusnya pakai baju dong. Kalau jalannya genit ya berarti dia yang minta.” Apakah begitu? Mana kemanusiaan anda? Kenapa tidak dipikirkan, apakah mungkin perempuan ini justru membutuhkan bantuan. Mungkin sedang mengalami mental breakdown. Mungkin sedang mengalami episode di mana dia butuh bantuan karena sedang tidak sadar.

3. Secara spesifik misalnya di kasus saya diangkat karena berdasarkan pakaian olahraga yang saya kenakan saat sedang berlari pagi.

* Jika anda punya pendapat tentang bagaimana seharusnya seseorang berpakaian saat berolah raga, itu adalah hak anda dan saya tidak akan menghakimi anda berdasarkan itu. Tetapi saya percaya bahwa semua orang (laki-laki maupun perempuan) punya hak untuk berpakaian sesuai dengan kehendaknya masing-masing tanpa mengalami pelecehan, diskriminasi, nyinyiran, dll.

* Apakah pakaian seseorang menentukan akhlaknya? Saya telah menjadi saksi ketika seorang kawan diperlakukan buruk, lalu saat ia tiba-tiba mengubah caranya berpakaian, berubah juga cara orang memperlakukannya. Apakah kawan saya ini langsung berubah kepribadiannya, hanya karena dia mengubah caranya berpakaian dan juga karena berubahnya cara dia dipandang? Tidak!
Sedangkal itukah kita sehingga menilai orang berdasarkan cara dia berpakaian saja?
Saya yakin anda semua pasti kenal dengan orang-orang yang di luarnya kelihatan luar biasa alimnya tetapi di balik pintu kelakuannya tidak mencerminkan pakaiannya. Sebaliknya, saya tahu orang-orang yang seringkali dipandang sebelah mata seperti kawan-kawan yang bertato dari kepala sampai kaki tetapi mereka adalah orang-orang dengan hati paling mulia yang memberikan perlindungan kepada anak-anak korban kekerasan. Di Indonesia banyak dari mereka menampung dan menyelamatkan hewan-hewan yang ditelantarkan dan disiksa. Tuhan bisa "bekerja" melalui mereka, tapi kita sebagai manusia semudah itu menilai akhlak seseorang hanya dari caranya “berpakaian”. Hanya dari penampilannya.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas