Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

7 Alasan LSI Denny JA Mengapa Pilkada Serentak Tak Harus Ditunda

Ikrama pun membeberkan tujuh alasan mengapa Pilkada Serentak 2020 harus tetap digelar di tengah pandemi Covid-19

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in 7 Alasan LSI Denny JA Mengapa Pilkada Serentak Tak Harus Ditunda
TRIBUNNEWS.COM
Ilustrasi Pilkada 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Lembaga Survei Indonesi (LSI) Denny JA Ikrama Masloman menilai, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 kabupaten/kota dan provinsi pada 9 Desember 2020 mendatang tidak perlu ditunda.

Namun, ia mengatakan bahwa cukup dilakukan modifikasi dalam teknis pelaksanaannya.

Ikrama pun membeberkan tujuh alasan mengapa Pilkada Serentak 2020 harus tetap digelar di tengah pandemi Covid-19, seperti saat ini.

Pertama, soal legitimasi. Ikrama mengatakan, jika pilkada ditunda, sebanyak 270 daerah di Indonesia akan dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt). Padahal, sebanyak 209 kepala daerah akan selesai masa jabatannya pada Februari 2021, mendatang.

Hal itu disampaikan Ikrama saat konferensi pers bertajuk '7 Alasan Mengapa Pilkada Jangan Ditunda' melalui virtual, Kamis (24/9/2020).

Baca: Ketua Komisi II DPR: Ada 6 Tahapan Kritis di Pilkada 2020

"Legitimasi Plt tentunya berbeda dengan kepala daerah yang dipilih rakyat. Kewenangannya pun terbatas. Plt misalnya tidak bisa mengambil kebijakan yang bersifat substansial, terutama yang berdampak pada anggaran, serta tidak dapat mengambil kebijakan yang mengikat lainnya," kata Ikrama.

Berita Rekomendasi

Kedua, terkait proporsi. Ikrama menyebut bahwa saat ini dari total 270 daerah yang menggelar pilkada dan hanya ada 16,3 persen yang masuk zona merah Covid-19.

Karena itu, tidak tepat jika harus membatalkan 83,7 persen wilayah lain.

Untuk pilkada di wilayah zona merah, kata Ikrama, dapat dilakukan treatment khusus tanpa harus digeneralisasi untuk 83,7 persen wilayah lain.

Baca: Satgas Covid-19: Kami Melihat Kasus Positif Cukup Tinggi, Ini Juga Terkait Pilkada

"Misalnya, khusus di 16,3 persen kasus (44 daerah), calon kepala daerah dilarang melakukan pengerahan massa lebih dari 5 orang," ucapnya.

Ketiga, terkait kepastian hukum dan politik. Ikrama mengatakan jika pilkada kembali ditunda dan menunggu vaksin dapat digunakan masyarakat hingga kini tidak ada kepastian.

Pasalnya, para ahli pun tidak bisa memastikan kapan vaksin yang disahkah WHO dapat digunakan masyarakat.

"Pemilihan pilkada di 270 wilayah atau 49 persen dari wilayah Indonesia, itu terlalu penting jika disandarkan pada situasi yang tidak pasti," kata Ikrama.

Keempat, terkait pilihan kebijakan. Menurut Ikrama, dalam setiap situasi sulit atau krisis setiap pemimpin punya pilihan kebijakan yang tidak mudah namun tetap harus diambil dengan mempertimbangkan semua aspek.

Presiden Jokowi dengan partai pemimpin koalisi, PDIP sudah menyatakan sikapnya berkali-kali bahwa mereka memilih kebijakan untuk tetap melanjutkan pilkada sesuai jadwal yaitu 9 Desember 2020.

Baca: Bamsoet Ingatkan Pelaksanaan Pilkada Serentak Harus Dibarengi Penerapan Protokol Kesehatan Ketat

Tak hanya eksekutif, DPR melalui Komisi II juga telah menyetujui bahwa pelaksanaan Pilkada 2020 tetap dilaksanakan pada Desember 2020.

Keputusan tersebut merupakan hasil rapat bersama Mendagri, KPU, DKPP, Bawaslu dan Komisi II DPR.

"Mayoritas parpol satu saara bahwa Pilkada 2020 tak mungkin ditunda. UU Pilkada dan Perppu mustahil diubah tanpa ada persetujuan presiden. Perppu dari presiden pun tak akan berlaku jika ditolak DPR yang merupakan representasi parpol," jelasnya.

Kelima, terkait asalan kesehatan. Ikrama menyebut, ada 16,3 persen dari 270 wilayah pilkada yang termasuk zona merah.

Karena itu, di zona merah, pilkada dapat diberikan aturan khusus. Misalnya tidak boleh membuat publik berkumpul lebih dari 5 orang. Di sisi lain, protokol kesehatan juga tetap harus dijaga.

"Calon yang tidak mematuhi dapat dikenakan sanksi bertingkat hingga diskualifikasi. Banyak jenis kampanye yang bisa dilakukan tanpa harus mengumpulkan massa seperti kampanye media kampanye luar ruangan dan door to door yang mengikuti protokol kesehatan," ungkapnya.

Keenam, terkait ekonomi. Ia menyebutkan kondisi ekonomi masyarakat secara nasional saat ini sedang menurun.

Data menunjukkan ekonomi nasional kini minus 5,3 persen.

Bahkan, Kemenaker hingga 31 Juli 2020, mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun dirumahkan mencapai 3,5 juta lebih.

"Kegiatan pilkada dan kampanye di 270 wilayah dapat menjadi penggerak ekonomi lokal. Biaya kampanye, biaya saksi, tim sukses, cetak dan pemasangan atribut dan lain-lain, dapat bergulir di masyarakat bawah atau di daerah," ujarnya.

Terakhir, terkait dengan modifikasi bentuk kampanye. Menurut Ikrama, banyak referensi dari pelaksanaan pilkada di tengah pandemi dari berbagai negara.

Dibandingkan semua negara di dunia, yang tercatat Covid-19 tertinggi saat ini adalah Amerika Serikat (AS).

Hingga Kamis (24/9/2020), total kasus Covid-19 di AS mencapai 7.139.553. Kondisi ini jauh dibandingkan Indonesia sebanyak 262.022 kasus.

"Tentu perbandingan ini tidak apple to apple karena berbedanya intensitas tes, namun data itu bisa memberikan insight, bahkan di AS, pemilu tidak ditunda. Hal yang dimodifikasi adalah bentuk kampanye yaitu kampanye dan pertemuan yang menghimpun orang banyak harus dihindari," jelas Ikrama.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas