4 Alasan Mengapa Cost Politik Pemenangan Pilkada Tinggi versi ICW
Peneliti ICW Almas Sjafrina mengemukakan empat alasan mengapa cost politik pemenangan pilkada di Tanah Air cenderung tinggi.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cost politik pemenangan pilkada yang tinggi disebut Indonesia Corruption Watch (ICW) menjadi salah satu faktor kepala daerah untuk melakukan korupsi. Lantas apa penyebab cost tersebut tinggi?
Peneliti ICW Almas Sjafrina mengemukakan empat alasan mengapa cost politik pemenangan pilkada di Tanah Air cenderung tinggi.
"Pertama, selain problem di masyarakat gitu ya, memang ada kecenderungan regulasi kita membuka ruang. Kalau kita sekarang bicara pilkada, pilkada kita ini membuka ruang," ujar Almas, dalam webinar 'Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada', Kamis (15/10/2020).
"Pengaturannya banyak yang tidak konsisten. Di satu sisi mendorong calon untuk berhemat agar cost pemenangan pilkadanya rendah, tapi di sisi lain juga memberikan ruang sehingga cost politik pemenangan pilkada itu tinggi," imbuhnya.
Dia mencontohkan dalam Pasal 73 UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa calon atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan.
Baca juga: ICW : Pilkada Tak Langsung Bukan Solusi Bersihkan Korupsi yang Jerat Kepala Daerah
Namun, dalam penjelasan di Pasal 73 itu disebutkan bahwa memberikan uang atau materi lainnya itu tidak meliputi biaya makan minum beserta kampanye, biaya transport dan pengadaan bahan kampanye pada pertemuan-pertemuan terbatas.
Dan lebih jauh lagi, kata Almas, di PKPU diatur sepanjang di bawah Rp60.000, maka bahan kampanye yang diberikan kepada masyarakat --dapat berupa kaus, mug, topi, dan sebagainya-- itu bukanlah money politic.
"Padahal di sisi lain kalo kita bicara soal cost pemenangan pilkada yang tinggi ini akan membuat cost politik semakin tinggi. Kalo dulu sebelum ada UU ini, pemberian alat ibadah misalnya mukena diatas Rp60.000 itu jelas politik uang, tapi kalau sekarang bahan kampanye di bawah Rp60.000 itu bukan politik uang," jelasnya.
Alasan kedua yakni perilaku atau pilihan cara kandidat untuk memenangkan pilkada.
Menurut Almas, walaupun Indonesia nantinya akan menyelenggarakan pilkada secara tidak langsung tak akan mengubah apapun apabila pilihan cara kandidat untuk menang tetaplah ilegal.
"Kalau pilihan cara dari kandidat untuk menang tetap menggunakan cara-cara yang ilegal, suap mahar politik tetap ada, ya tetap sama akan tetap banyak korupsi politik di daerah," kata dia.
Alasan ketiga terkait dengan perilaku partai yang menerapkan mahar pencalonan. Almas melihat alasan ini jelas akan membuat cost pemenangan pilkada yang tinggi.
Kemudian alasan keempat yaitu minimnya pendidikan politik kepada masyarakat atau pemilih di Indonesia.
Minimnya pendidikan politik ini tak hanya dilakukan oleh KPU dan Bawaslu, bahkan partai politik sendiri masih dikatakan minim dalam memberikan pendidikan politik.
"Partai politik sudah mengakui dalam wawancara yang kami lakukan dalam kajian menyebutkan memang sulit bagi partai untuk melakukan pendidikan politik karena costnya sangat tinggi," jelas Almas.
"Padahal menurut kami, selain persoalan kemampuan ini juga persoalan kemauan. Kalau partai politik bisa memasang baliho di tempat-tempat strategis seharga miliar dan menggelar rapat di hotel-hotel mewah, kenapa untuk pendidikan politik kepada warga kebutuhan pendanaan itu disebut mahal?" pungkasnya.