MK Jadi Gerbang Terakhir Penyelesaian Sengketa Pilkada
diperlukan kenegarawanan hakim konstitusi. Terutama untuk mengurai masalah yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Dennis Destryawan/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan dapat mengurai 135 perkara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang teregister.
Mantan Ketua Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo mengatakan untuk itu diperlukan kenegarawanan hakim konstitusi.
Terutama untuk mengurai masalah yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sehingga dapat melahirkan keadilan yang substantif.
Baca juga: 40 Komisioner KPU Terpapar Covid-19 Usai Penyelenggaraan Pilkada Serentak
"Maka kita tentu berharap MK menjadi gerbang terakhir dispute resolution dilakukan. Selama ini belum cukup efektif, tetapi ada peningkatan KPU/DKPP untuk meningkatkan penyelesaian masalah," ujar Bambang dalam diskusi webinar, Kamis (21/1/2021).
Bambang berharap kepada kenegarawanan hakim Mahkamah Konstitusi karena masalah yang dihadapi sangat nyata dan bisa dirasakan.
Sebab, saat ini, penegakan hukum masih terkendala dalam hukum formal yang sangat menyekat-sekat poses itu.
Baca juga: Polri Bakal Gelar Pengamanan Hakim-Hakim yang Pimpin Sidang Sengketa Pilkada Serentak 2020
"Bahkan beberapa regulasi tidak tegas apa yang harus dilakukan," ucap Bambang.
Bambang berharap MK bisa membuat keadilan substantif. MK bisa mengadili berbagai kasus kecurangan pilkada yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Contoh pelanggaran yang masih marak adalah politik uang atau money politics di berbagai daerah. Bambang menilai MK perlu progresif dalam mengadili perkara-perkara terstruktur dan masif tersebut.
"MK pernah membatalkan pasangan calon yang menang, tapi melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) kasus Pilkada Kotawaringin Barat," kata Bambang.
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini menjelaskan adanya Peraturan MK No 6 dan 7 yang meneguhkan syarat selisih seperti diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada tidak lagi menjadi legal standing atau persyaratan pengajuan permohonan. Titi mengutip alasan dua hakim MK yakni Aswanto dan Saldi Isra terkait pilihan tersebut.
Baca juga: MK Telah Terima 82 Permohonan Sengketa Hasil Pilkada 2020
"Aswanto mengatakan jika MK begitu saja melaksanakan ketentuan syarat perselisihan suara bagi pasangan calon yang mengajukan perkara, maka MK sudah berpihak kepada salah satu calon yakni KPU. Karena itu pemeriksaan sengketa pilkada terkait selisih suara diperiksa di akhir," ujarnya.
Sementara kutipan Saldi Isra yang didapat Titi yakni MK akan memberi ruang dengan mendengarkan pemohon beserta bukti, pihak terkait dan Bawaslu.