Pengamat Politik Sarankan Kubu Jokowi dan Prabowo Turunkan Suhu Politik
Emrus Sihombing menyarankan kedua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk menurunkan suhu politik.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menyarankan kedua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk menurunkan suhu politik.
Sebab belum genap dua bulan kampanye Pilpres berlangsung, sudah tampak indikasi menghangatnya suhu politik, khususnya dikalangan para elit politik nasional.
Sementara upaya menurunkan suhu politik belum muncul dari kedua kubu pasangan calon Pilpres.
Saat ini kedua kubu seolah berada di seberang yang berbeda.
Baca: Diminta Gerindra Usulkan 4 Calon Ikut Fit and Proper Test Cawagub DKI, Ini Tanggapan PKS
Indikasi meningkatnya suhu politik jelas terlihat dari lontaran pesan komunikasi politik dari kedua kubu.
Satu kubu, misalnya, menyampaikan rakyat Indonesia 99 persen hidup pas-pasan, harga-harga bahan pokok di pasar naik, tempe setipis ATM, chicken rice di Singapura lebih murah dibanding di Jakarta, dan janji pemerintah tidak ditepati disebut sebagai kebohongan.
Di kubu lain, kata dia, seakan tidak mau ketinggalan “menembakkan peluru” komunikasi politik ke ruang publik yang boleh jadi sebagai respon dari kubu kawan bersaing dalam kontestasi Pilpres dengan mengatakan Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo.
Baca: Pengakuan Pedagang di Lokasi Tempat Haris Simamora Buang Linggis
"Berbalas pantun politik yang sedang terjadi saat ini, menurut saya, tidak boleh kita biarkan," kata Emrus Sihombing kepada Tribunnews.com, Jumat (16/11/2018).
Menurutnya kampanye saling berbalas pantun bila terus dipelihara para elit politik peserta kampanye Pilpres akan berpotensi menimbulkan polarisasi dan gesekan sosial.
"Bahkan bisa memicu konflik horizontal di tengah masyarakat," ujarnya.
Untuk itu, menurut dia, saat ini harus sesegera mungkin memikirkan solusi.
Emrus Sihombing menyarakan tiga pemikiran solutif mewujudkan Pemilu damai dan bermutu.
Pertama, menawarkan program bukan adu program.
Baca: Direktur Eksekutif Maarif Institute: Pelaporan Terhadap Grace Natalie Harusnya Tidak Perlu
Adu program belum saatnya bisa kita lakukan dalam suatu kontestasi politik di tanah air.
Sebab, menurut pengamatan dia, dalam kampanye Pilpres kali ini, dengan adu program masih cenderung para aktor politik berupaya keras melakukan pembenaran programnya tanpa sedikitpun mengemukakan sisi kekurangan dari programnya itu.
"Upaya pembenaran pun dilakukan oleh aktor politik bahwa program kawan bersaing selalu salah," jelasnya.
Padahal, dia menjelaskan, sejelek apapun program, pasti ada sisi bagusnya.
Melihat belum munculnya kedewasaan berpolitik beberapa elit, dia menilai, masih lebih baik menawarkan program kepada masyarakat.
Kedua, saling membela.
Walaupun ini tampak sulit, jika ada kemauan pasti bisa diwujudkan.
Ketika salah satu Paslon Pilpres diserang atau dirugikan wacana hoaks, ujaran kebencian, provokatif, eksploitasi politik identitas dan sejenisnya, maka paslon lain yang boleh jadi diuntungkan dari wacana tersebut, maju ke depan membela paslon yang dirugikan.
"Sembari mengatakan, kami tidak mau menang di tengah munculnya politik hoax, ujaran kebencian, provokatif, eksploitasi politik identitas dan sejenisnya. Demikian sebaliknya," katanya.
Bila saling membela dilakukan antara masing-masing Paslon, menurut dia, hoaks, ujaran kebencian, provokatif, eksploitasi politik identitas akan layu sebelum berkembang.
Sebaliknya, jika upaya saling membela dikesampingkan demi memperoleh kemenangan dalam kontestasi Pilpres yang sedang berlangsung sekarang ini, amat sulit meredam hoaks, ujaran kebencian, provokatif, eksploitasi politik identitas dan sejenisnya.
"Kampanye damai bisa sulit terwujud," ujarnya.
Ketiga, melakukan pertemuan silaturahmi antar kedua Paslon Pilpres sekali sebulan.
Pertemua ini dilakukan di beberapa tempat secara bergantian di seluruh wilayah Indonesia.
"Setting acara bisa saja bermusik dan bernyanyi bersama serta berseda gurau antar kedua Paslon Pilpres, yang juga dihadiri oleh semua lapisan masyarakat. Acara ini harus steril dari perbincangan politik dan saling menyindir," jelasnya.
Lebih menarik lagi, kata dia, bila penyelenggaranya dari perkumpulan masyarakat biasa, yang juga steril dari kepentingan politik praktis seperti perkumpulan pengamen, pemulung, nelayan tradisional, petani penggarap, pedagang asongan, dan sebagainya.
Jika ide ini dirancang secara kreatif, menarik dengan nuansa budaya lokal setempat tanpa meninggalkan nilai kesederhanaan, maka acara pasti mengandung nilai berita menarik untuk diliput berbagai media massa nasional bahkan media massa internasional.
"Bayangan saya, bila acara ini terwujud, Bapak Joko Widodo bermusik, Bapak Prabowo Subianto bersama masyarakat bernyanyi “Tanah Airku Tidak Kulupakan”. Pada saat itu, saya yakin, kita larut dalam kebersamaan kebangsaan Indonesia Raya," katanya.