Formappi: Kampanye Olok-olok seperti 'Adegan Onani' Elite Politik yang Tak Jelas Substansi
Namun, belakangan isi kampanye yang beredar menurut Lucius justri mengarah pada bentuk olok-olok, atau yang disebut sebagai kampanye olok-olok.
Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai seharusnya para kandidat capres dan cawapres mengembalikan makna kampanye sesuai dengan UU Pemilu nomor 7 tahun 2017.
"Kita perlu dorong sejak awal bagaimana kita pastikan para peserta pemilu capres-cawapres, bahkan caleg di timses, tidak larut dalam sesutau yang menyesatkan publik," ujarnya di D Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (21/11/2018).
Namun, belakangan isi kampanye yang beredar menurut Lucius justru mengarah pada bentuk olok-olok, atau yang disebut sebagai kampanye olok-olok.
"Kampanye olok-olok ini seperti adegan onani elite politik yang tidak jelas substansi, padahal publik memiliki pilihan yang jelas," tambahnya.
Fakta seperti itu, dikatakan Lucius, tidak mendalam apalagi untuk memastikan 70 persen pemilih lokal akan tetap memilih mereka.
Baca: Charta Politika: Pilpres 2019 Diisi Pertarungan Branding Jokowi-Sandiaga
"Tidak nyambung jika yang dihidupkan politisi ini adalah kampanye olok-olok, di sisi lain pemilih juga sudah punya sikap," pungkas Lucius
Seperti diketahui, sejumlah pernyataan dari capres 01 Jokowi dikeluarkan, di antaranya menyebut politikus sontoloyo, politikus genderuwo. Kemudian juga pernyataan KH. Ma'ruf Amin yang mengeluarkan statement budek dan buta.
Di kubu lawan, cawapres nomor urut 02 Sandiaga melontarkan kalimat seperti 'tempe setipis ATM', 'harga chicken rice di Jakarta lebih mahal daripada di Singapura', dan kemudian melakukan adegan-adegan kontroversial salah satunya melangkahi makam pendiri NU.