Begini Pidato Ma'ruf Amin via Rekaman Suara di Megawati Institute
Ma'ruf mengajak untuk bersyukur lantaran para pemimpin bangsa telah berhasil meletakkan dasar kenegaraan Indonesia.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon wakil presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin batal menghadiri acara diskusi di Megawati Institute, Rabu (28/11).
Akan tetapi pidato Ma'ruf tetap dapat didengar, lantaran pihak penyelenggara diskusi telah merekam pandangan dan perspektif yang bersangkutan.
Di awal rekaman suara yang menggema di ruangan, Ma'ruf tampak menyampaikan permohonan maafnya lantaran tidak bisa hadir.
Baca: Rudapaksa Putri Kandung Selama 14 Tahun, Pelaku Lakukan Ini Demi Muluskan Aksinya
Ia kemudian berharap bahwa pertemuan diskusi itu tetap memberikan manfaat dan nilai terutama sebagai bangsa.
Ma'ruf mengajak untuk bersyukur lantaran para pemimpin bangsa telah berhasil meletakkan dasar kenegaraan Indonesia.
"Itu bukan sesuatu yang mudah, mengingat bahwa bangsa kita itu majemuk dan sangat variatif, agama suku budaya tentu bagaimana membuat landasan kita dalam berbangsa dan bernegara itu sesuatu yang sangat sulit," ujar Ma'ruf, melalui rekaman suara, Rabu (28/11/2018).
Baca: Cek Namamu Sekarang, BKN Umumkan Hasil Verval SKD CPNS 2018 yang Lanjut Ke Tahap SKB
Ia pun meminta masyarakat harus memberi penghargaan bagi Bung Karno selaku proklamator lantaran berhasil merumuskan Pancasila sebagai dasar bangsa.
Apalagi banyak kelompok yang awalnya ingin pikiran paham masing-masing dijadikan dasar negara. Namun, ayah Megawati itu disebut mampu menjadikaj Pancasila sebagai titik temu semuanya.
Menurutnya, bagi tokoh nasionalis, Pancasila adalah kebangsaan yang religius. Sementara bagi kelompok Islam, Pancasila adalah kebangsaan yang bertauhid.
"Disinilah bertemu semua kelompok, Pancasila adalah titik temu yang orang Islam menamakannya sebagai Kalimatul sawwab yaitu satu kata-nya seluruh bangsa Indonesia. UUD 45 juga merupakan suatu kesepakatan Keberhasilan para pemimpin merumuskan bagaimana kita mengelola negara mekanismenya yang tertuang dalam UUD 1945. Itu juga suatu hal yang luar biasa," jelasnya.
Baca: Reino Barack Membuka Hubungan Asmara, Syahrini: Naif Bila Aku Tak Mencintaimu
"Karena itu uud 45 bagi umat islam disebut kesepakatan nasional, ittifaqat wathoniyah. Kesepakatan sesama saudara sebangsa dan setanah air," imbuh Ma'ruf.
Ulama berusia 78 tahun itu juga menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, seperti halnya paham keagamaan yang agak radikal.
Ia menilai kelompok penganut paham radikal itu sama sekali tidak mengenal kesepakatan.
"Yang mereka kenal adalah islam kaffah, padahal kita di Indonesia adalah islam kaffa ma'al mitsah. Islam yang itu tapi ada mitsah. Tentu berbeda dengan Saudi tidak ada mitsah, karena mereka tidak majemuk. Kita di sini sudah ada kesepakatan dan itu mengikat," kata dia.
Ma'ruf pun menyampaikan penghargaan pada pemimpin masa yang lalu. Karena, kata dia, bisa menyelesaikan konflik keislaman dan kebangsaan yang di beberapa negara islam dan kebangsaan masih diperhadapkan.
"Tapi para ulama kita di Indonesia sudah dapat menyelesaikan, mengkompromikan antara Islam dan kebangsaan. Sehingga Islam dan kebangsaan tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi konfrontatif," jelas Ma'ruf.
Baca: Tolak Hak Interpelasi, Tiga Mantan Anggota DPRD Sumut Terima Suap Rp 15-50 Juta dari Gatot
Bila masih ada orang yang mempersoalkan masalah itu, Ma'ruf menilai masih ada mispersepsi terhadapnya.
"Bisa mispersepsi keislamannya sehingga tidak bisa memahami kebangsaan. Atau mispersepsi tentang kebanggasanya, sehingga tidak bisa memahami tentang hubungan keduanya," pungkasnya.
Jangan Jungkirbalikkan Tradisi
Di era milenial 4.0, Ma'ruf melihat ada pandangan yang harus dihadapi, dimana ada perubahan yang cirinya justru berusaha menjungkir balikkan yang lama.
Ia berpandangan seharusnya perubahan ini harus dimanfaatkan dan pergunakan sebaik-baiknya untuk membangun kehidupan bangsa yang sejahtera.
"Tetapi jangan menjungkirbalikkan landasan tradisi sikap bahkan apalagi menyangkut landasan negara yang sudah ditetapkan oleh para pendiri bangsa. Oleh karena itu bagaimana memanfaatkan teknologi yang maju, dan bagaimana menjaga yang lama, yang baik ini, yang harus kita siapkan," kata dia.
Di kalangan NU, kata dia, sudah memiliki paradigma itu. Dimana menjaga sesuatu hal lama yang baik atau tradisi, dan juga mengambil sesuatu yang baik dari hal baik untuk melakukan transformasi.
Namun, ia masih menilai diperlukannya paradigma terkait perbaikan ke arah yang lebih baik.
"Menjaga yang lama yang baik, mengambil yang baru yang baik, mentransformasi, melakukan sendiri ke arah yang lebih baik tidak hanya menggunakan produk orang lain, tetapi juga kita memproduk sendiri, yaitu membuat inovasi-inovasi," pungkasnya.