Prabowo Ancam Mundur dari Pilpres 2019, Pengamat Sebut Soal Pidana Penjara 5 Tahun
Dikatakan Djoko Santoso, dalam pidatonya nanti Prabowo akan menyampaikan akan mundur dari kontestasi pilpres jika potensi kecurangan terus terjadi.
Editor: widi henaldi
TRIBUNNEWS.COM -- Analis politik LIPI Syamsuddin Haris ikut mengomentari keputusan Badan Pemenangan Prabowo-Sandiaga, yang ancam akan mengundurkan diri di Pilpres 2019.
Menurut Syamsuddin Haris, tim Prabowo-Sandiaga seharusnya membaca pasal 552 ayat (1) UU Pemilu.
Ia menyebutkan, dalam pasal tersebut dituliskan bahwa setiap ada capres atau cawapres mundur, akan mendapat ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak Rp 50 miliar.
Hal itu disampaikan oleh Syamsuddin Haris dalam menanggapi adanya pernyataan dari Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Djoko Santoso, yang mengatakan kalau Prabowo Subianto akan mengundurkan diri jika terdapat potensi kecurangan dalam Pilpres 2019.
Dikutip dari Tribunnews.com, hal itu disampaikan Djoko Santoso dalam pidatonya saat menghadiri acara #Bising (Bincang Asik dan Penting) oleh Gerakan Milenial Indonesia (GMI) di Kota Malang, Minggu (13/1/2019).
Awalnya, Djoko Santoso menceritakan perjalanannya dari Jawa Barat hingga ke Jawa Timur.
Kemudian, dia menyampaikan bahwa dia harus segera balik ke Jakarta karena Prabowo Subianto, calon presiden yang didukungnya akan menyampaikan pidato kebangsaan pada Senin (14/1/2019).
Dikatakan Djoko, dalam pidatonya nanti Prabowo akan menyampaikan akan mundur dari kontestasi pilpres jika potensi kecurangan terus terjadi.
"Prabowo Subianto akan menyampaikan pidato kebangsaan. Memang supaya tidak terkejut barangkali, kalau tetap nanti disampaikan Prabowo Subianto, pernyataan terakhir Prabowo Subianto adalah kalau memang potensi kecurangan itu tidak bisa dihindarkan, maka Prabowo Subianto akan mengundurkan diri," katanya.
Purnawirawan TNI itu menyampaikan, salah satu potensi kecurangan dalam Pemilu 2019 adalah diperbolehkannya penyandang disabilitas mental atau tuna grahita untuk menggunakan hak pilihnya.