Pengamat Minta Jokowi dan Prabowo Stop Perang Diksi dan Narasi Dalam Kampanye
Diksi dan narasi yang muncul imbuh dia, seolah berhadap-hadapan antara poros yang satu dengan poros yang lain.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak kampanye Pilpres 2019 di mulai hingga kini, disadari atau tidak oleh sebagian aktor politik dari dua poros, seakan terjebak pada perang diksi dan narasi.
Selain tidak produktif, menurut pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, perilaku komunikasi politik semacam ini sangat tidak mendidik masyarakat.
"Pun bisa menjauhkan kita dari komunikasi politik keberadaban, sebagaimana tertuang pada sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Utamanya pada kata, “beradab,” ujar Direktur Eksekutif
Lembaga EmrusCorner ini kepada Tribunnews.com, Kamis (14/2/2019).
Diksi dan narasi yang muncul imbuh dia, seolah berhadap-hadapan antara poros yang satu dengan poros yang lain.
Yakni, di satu sisi muncul ungkapan dan narasi tentang ekonomi kebodohan, menteri pencetak utang, anggaran negara bocor Rp 500 triliun, negara punah. Semua itu sangat abstrak.
Di sisi lain mengemuka pandangan dan ungkapan terkait konsep politik sontoloyo, genderuwo dan propaganda Rusia. Sebutan ini juga masih sulit untuk merumuskan batasannya.
Lontaran dari kedua kubu tersebut, dari aspek komunikasi, dia menilai, berpotensi menimbulkan polarisasi “sempit” di tengah masyarakat.
"Berdasarkan pandangan kedua kubu tersebut, saya berpendapat, pola komunikasi politik semacam ini harus sesegera mungkin kita hentikan," harapnya.
Baca: Cak Imin Sebut 98 Persen Warga NU Pilih Jokowi-Maruf
Selain itu, menurut dia, realitas komunikasi politik yang demikian mengandung dua kerugian sekaligus.
Pertama, rakyat dirugikan karena perang diksi dan narasi yang mampu “mengubur” dalam-dalam daya kritis masyarakat terhadap program dari kedua kubu kandidasi.
Apalagi energi rakyat terkuras kepada perang komunikasi politik yang tidak produktif. Rakyat seolah hanyut dalam arus wacana dari para elitis.
Akibatnya, ketika salah satu kandidat memenangkan kontestasi Pilpres 2019, rakyat amat sulit menagih janji politik sebuah rezim yang berkuasa karena sudah terkubur oleh wacana perang diksi dan narasi.
Kedua, konsekuensi perang diksi dan narasi berpotensi kuat memanipulasi persepsi dan emosi rakyat dalam menentukan pilihan terhadap salah satu dari dua paslon pilpres.
"Mereka bisa saja memilih atas pertimbangan emosional, persepsi yang disesatkan, dan berdasarkan suka tidak suka kepada salah satu paslon sebagai akibat dari perang diksi dan narasi yang dilontarkan oleh sebagian aktor politik dari kedua kubu," paparnya.