Hanya Dua Paslon di Pilpres, Buat Masyarakat Indonesia Terbelah
Bursah Zarnubi, menyoroti aktivitas di Pemilu 2019. Menurut dia, anak bangsa tampak terpecah belah, terutama dalam Pemilu Serentak ini.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendukung masing-masing pasangan calon presiden-calon wakil presiden semarak memberikan dukungan selama berlangsungnya pemilihan umum (Pemilu) 2019.
Relawan dari pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin maupun relawan dari pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menggelar acara di tempat berbeda.
Ketua Umum Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), Bursah Zarnubi, menyoroti aktivitas di Pemilu 2019. Menurut dia, anak bangsa tampak terpecah belah, terutama dalam Pemilu Serentak ini.
Menurut dia, keterpecahan itu disebabkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold cukup tinggi sebesar 20 persen. Sehingga, di Pemilu 2019 hanya ada dua pasangan capres-cawapres.
"Kalau ada tiga pasang (capres-cawapres,-red) ada alternatif, situasi nasional tidak seperti sekarang. Sangat panas dan menenggangkan. Dinamika dipastikan akan berbeda," kata Bursah, Minggu (3/3/2019).
Untuk presidential threshold, kata dia, cukup 10 persen atau dibuat nol sehingga dinamika politik bagus. Atas dasar itu, dia menilai, telah terjadi kesalahan dalam menata sistem demokrasi.
Baca: Maruf Amin Bilang Ada Kecenderungan Partai Demokrat Netral
Dia menjelaskan, Indonesia sebagai bangsa seolah terpecah, karena sistem yang dibangun partai politik secara kelembagaan tidak tertata dalam membangun sistem demokrasi.
Untuk itu, kata dia, perlu penataan kelembagaan partai politik. Dia melihat parpol sejak berdiri belum mengadopsi nilai-nilai modern yang rasional dalam memecahkan persoalan bangsa. Padahal, partai politik sebagai salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi.
Dia menegaskan, tidak tertata parpol secara kelembagaan, terutama membangun sarana komunikasi, rekrutmen, menajemen konflik, dan pengaturan pertikaian, dapat melahirkan sejumlah persoalan.
"Itu sebabnya komunikasi politik buruk, partai politik tidak mengakar, rekrutmen sangat buruk, maka akhirnya bangsa kita kayak terbelah, kenapa?," tanya Bursah.
Selain itu, dia menyoroti munculnya berita tidak benar atau hoaks. Dia menjelaskan, Hoaks itu muncul karena dimainkan orang pinter dan memiliki tujuan tertentu. Namun, yang membroadcast atau menyebarluaskan kebanyakan masyarakat kurang literasi.
Dia melihat, Indonesia sebagai sebuah bangsa memang mengalami krisis literasi. Hal itu, kata dia, dapat dilihat dari tingkat peradaban literasi Indonesia yang menempati rangking 60.
"Menurut UNESSCO, dari 1000 orang hanya 1 orang yang membaca buku. Dan dari 1 orang itu durasi membacanya hanya 35 sampai 59 menit. Itu rendah sekali. Pasahal menurut UNESSCO suatu peradaban bisa maju berkembang kalau penduduknya membaca buku 4 sampai 5 jam dalam sehari. Dan setiap orang memiliki 3 buku yang dibaca," katanya.
Dia menegaskan, rendahnya literasi bangsa juga karena faktor tidak bekerjanya partai khususnya dalam edukasi politik dan sosialisasi politik. Itu juga sebabnya rakyat mudah terprovokasi, dan partai kesulitan melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan nasional.
Padahal, dia menambahkan, berdirinya partai politik, sama halnya dengan TNI-Polri, untuk mengartikulasikan dan mengaggregasikan seluruh kepentingan nasional sampai tingkat desa.
"Jadi kalau ada tiga kekuatan, TNI, Polri dan partai politik, didukung komunikasi politik yang baik, maka Hoaks ini akan dapat diatasi disamping menumbuhkan literasi kita lebih baik lagi, meskipun hoaks tidak mungkin dihilangkan" tukas aktivis senior pergerakan ini.
Di kesempatan itu, Bursah menyampaikan tidak setuju penanganan penyerbaran hoaks hanya ditindak secara hukum. Tetapi perlu penanganan secara komprehensif, terutama membudayakan praktek demokrasi yang modern dan peningkatan literasi disemua aspek.