Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Fadli Zon Sarankan Lembaga Survei yang Direkrut Jadi Konsultan Dimasukan Dalam Tim Sukses

Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon menyoroti hasil survei sejumlah lembaga dalam masa kampanye Pemilu 2019.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Fadli Zon Sarankan Lembaga Survei yang Direkrut Jadi Konsultan Dimasukan Dalam Tim Sukses
Chaerul Umam/Tribunnews.com
Fadli Zon. 

Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon menyoroti hasil survei sejumlah lembaga dalam masa kampanye Pemilu 2019.

Terutama setelah keluarnya survei Litbang Kompas yang mana elektabilitas Jokowi-Ma'ruf tenryata hanya terpaut 11,8 persen dari pasangan Prabowo-Sandi.

Sementara Lima hari lalu, misalnya, dalam publikasi SMRC, jarak elektabilitas antara Jokowi dengan Prabowo masih terpaut 25,8 persen.

Baca: Bertemu Relawan dan Pendukung di Sleman, Sandiaga Uno Minta Lebih Aktif Gerilya dengan Strategi 4 As

Fadli yang juga menjabat Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi itu mengatakan adanya selisih yang besar antara hasil survei satu lembaga dengan lembaga lainnya yang dipublikasikan sepanjang bulan Maret ini membuatnya tersenyum.

"Bagaimana tidak tersenyum? Semua survei mengklaim dirinya obyektif, ilmiah, dan ketat secara metodik, namun survei-survei yang dilakukan pada waktu yang berdekatan itu, serta dipublikasikan hanya berselang hari, ternyata menghasilkan angka-angka dengan jurang menganga," kata Fadli Zon melalui siaran persnya, Jumat, (21/3/2019).

Tidak hanya disitu, menurut Fadli yang membuat senyumnya melebar yakni hasil survei Indo Barometer pada Kamis kemarin yang menyebut jarak elektabilitas antara Jokowi dengan Prabowo kembali berada di atas 20 persen.

Baca: Jokowi Resmikan Pasar Badung Setelah Alami Kebakaran Tiga Tahun Lalu

Berita Rekomendasi

"Terus terang saya agak geli membacanya. Angka-angka survei yang timpang satu sama lain saya kira telah membuat publik kian tersadarkan bahwa tak ada lembaga survei yang independen di Indonesia," katanya.

Menurut dia, semua lembaga survei yang ada telah merangkap jadi konsultan politik yang bekerja untuk menyukseskan kepentingan partai atau kandidat tertentu.

"Mereka bekerja seperti layaknya pengacara yang sedang membela kliennya. Mereka adalah bagian dari industri politik yang kerjanya mencari keuntungan," katanya.

Fadli Zon menyontohkan hasil Pilkada DKI, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Semua lembaga survei meleset jauh, bisa ratusan persen.

Kata dia hal itu berarti lembaga survei gagal total memotret realitas masyarakat sesungguhnya.

Malah jadi “teror” terhadap lawan-lawan politik kliennya.

Baca: Fakta Penahanan Romahurmuziy, Keluhkan Pengap, Punya Penyakit hingga Minta Berobat di Luar KPK

"Sejarah lembaga survei di Indonesia memang berimpit dengan tumbuhnya lembaga-lembaga konsultan politik. Itu sebabnya survei politik yang dipublikasikan di Indonesia tidak bisa dijadikan alat untuk memetakan pendapat publik, karena sebenarnya survei tersebut digunakan untuk menggiring opini publik, dijadikan sebagai alat framing, alat kampanye atau alat propaganda," katanya.

Menurutnya, dalam dunia politik Indonesia, survei lebih merupakan infrastruktur imagologi atau pencitraan.

Itu sebanya, akurasinya pantas dipertanyakan.

"Ke depan, untuk kepentingan regulasi Pemilu dan Pilpres, kita perlu menegaskan norma bahwa ketika lembaga survei direkrut menjadi konsultan oleh partai politik atau kandidat yang berlaga dalam Pemilu, maka mereka harus diposisikan sama seperti halnya tim kampanye. Jadi, partai politik dan kandidat harus mendaftarkan nama konsultan atau lembaga survei yang mereka pekerjakan," katanya.

Fadli mengatakan bahwa sekarang ini perlu merumuskan kebijakan semacam itu demi transparansi, sekaligus untuk melindungi hak-hak publik.

Agar publik kemudian tahu lembaga survei A, misalnya, ternyata merupakan konsultannya partai X atau calon Y.

Sehingga, setiap hasil survei mereka bisa dicerna secara kritis oleh publik pemilih.

Dengan begitu, risiko terjadinya manipulasi hasil survei pun bisa terminimalisir.

"Ini merupakan cara yang fair untuk mengawasi lembaga-lembaga survei, sekaligus melindungi kepentingan publik dari manipulasi informasi, serta disinformasi yang dilakukan oleh mafia survei. Demokrasi kita harus kian transparan. Jangan sampai lembaga survei jadi predator demokrasi karena memanipulasi opini publik demi kepentingan klien mereka," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas