BPN Minta Jumlah Saksi Tidak Dibatasi, TKN: Jangan Playing Victim, Nanti Salahkan MK Kalau Kalah
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, meminta Mahmakah Konstitusi (MK) tidak membatasi jumlah saksi yang akan dihadirkan.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, meminta Mahmakah Konstitusi (MK) tidak membatasi jumlah saksi yang akan dihadirkan.
Tim hukum 02 diketahui telah mempersiapkan sekitar 30 orang saksi untuk memberikan keterangan dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Wakil Ketua TKN Jokowi-Maruf Amin, Asrul Sani, BPN Prabowo-Sandiaga sedang melancarkan strategi playing victim atau menyalahkan orang lain dan menempatkan diri seolah sebagai korban dari ketidakadilan MK.
Baca: SBY Asyik Bercengkrama dengan Cucu, Ekspresi Wajahnya Jadi Sorotan
Baca: Walau Telah Merintih Kesakitan, Pelaku Tetap Lanjutkan Menyodomi Korbannya
Baca: Kini Bocah Obesitas Asal Karawang Mampu Atur Sendiri Porsi Makannya
Karena bila nanti MK menolak dan kalah, itu berarti kubu Prabowo-Sandiaga telah menjadi korban ketidakadilan dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Pilpres 2019.
"Jangan bergaya playing victim, nanti menyalahkan MK-nya kalau kalah dengan alasan saksi dibatasi," kata Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini kepada Tribunnews.com, Senin (17/6/2019).
Selain itu, menurut Arsul Sani pernyataan tersebut menandakan Tim Hukum 02 tidak membaca dan mempelajari pertaruran MK atau PMK mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), baik Pilpres maupun Pileg.
Baca: Kuasa Hukum Prabowo-Sandi Akan Serahkan Surat Hasil Konsultasinya dengan LPSK Kepada MK Besok
Baca: Tuntutan 13 Tahun Penjara untuk Steve Emmanuel Dinilai Terlalu Lama, Ini Keyakinan Kuasa Hukumnya
"Itu tandanya nggak baca aturan. Pelajari dulu lah peraturan-peraturan MK atau PMK yang terkait dengan PHPU sebelum bicara di ruang publik. Nanti jadi bahan tertawaan masyarakat yang tahu hukum dan tata cara beracara di MK," ujar Arsul Sani.
Seharusnya menurut anggota Komisi III DPR RI ini, tim hukum 02 mengajukan permohonan ke MK agar mengubah aturan beracaranya untuk meminta dispensasi jumlah saksi.
"Kalaupun mau dispensasi maka mintanya dulu sebelum ajukan permohonan ke MK agar MK ubah dulu aturan beracaranya. Jadi jangan bergaya playing victim, nanti menyalahkan MK-nya kalau kalah dengan alasan saksi dibatasi," ucapnya.
30 saksi
im Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga mengungkapkan hingga saat ini sudah ada 30 orang yang bersedia menjadi saksi di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguatkan bukti kecurangan dalam kontestasi Pilpres 2019.
"Sejauh ini sudah ada kurang lebih 30 saksi yang tersedia," ucap anggota tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga, Iwan Satriawan gedung Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta, Sabtu (15/6/2019).
Baca: Perampokan Emas Rp 1,6 Miliar di Tangerang, Pelaku Bawa Pistol dan Sempat Todong Pedagang Arloji
Menurut Iwan, dalam menghadirkan saksi tersebut diperlukan keterlibatan dari LPSK.
Mengingat para saksi rata-rata meminta jaminan keselamatan saat datang ke Jakarta dan memberikan keterangan di persidangan, hingga pulang ke daerahnya masing-masing.
Oleh sebab itu, tim hukum Prabowo-Sandiaga berharap LPSK dapat memberikan perlindungan atas rekomendasi MK, di tengah keterbatasan kewenangan LPSK hanya dapat memberikan perlindungan pada persidangan pidana.
Baca: Diduga Selama 2 Jam Setnov Mengadali Petugas Pengawal di Rumah Sakit
"Sebuah keadilan tidak bisa berjalan dengan baik memberikan akses keadilan kepada masyarakat, apalagi ini berhadapan dengan institusi negara yang juga menjadi petahana," ujarnya.
"Kalau saksi tidak ada perlindungan, saya kira tidak ada orang yang akan mau memberikan testimoni tanpa ada jaminan perlindungan," sambung Iwan.
Kejutan dari Saksi yang Bakal Dihadirkan
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga mengungkapkan memiliki saksi hidup yang bakal memberikan keterangan mengejutkan terkait kecurangan dalam kontestasi Pilpres 2019 pada sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Ketua BPN Priyo Budi Santoso mengatakan, tim hukum BPN Prabowo-Sandiaga telah menyiapkan data bukti dan saksi yang nantinya disajikan dalam persidangan sengketa Pilpres di MK, untuk melengkapi bukti sebelumnya.
"Pada menit tertentu, mudah-mudahan ada saksi hidup yang akan memberikan keterangan wow atas semua itu (kecurangan)," papar Priyo dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (15/6/2019).
Baca: Dinilai Kurang Adil Hakim MK Akomodasi Perbaikan Permohonan 02, Ini Argumennya
Namun, terkait keterangan mengejutkan atau wow tersebut yang akan dihadirkan, Priyo belum dapat menjelaskannya karena hal ini sebuah taktik dalam menjalani persidangan.
"Detailnya nanti tim hukum yang akan menjelaskan," ucap Priyo.
Politisi Partai Berkarya itu menilai telah banyak bentuk kecurangan yang dilakukan pasangan Jokowi-Maruf seperti penyalahgunaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ketidaknetralan aparat penegak hukum, dan lain-lainnya.
"Percepatan THR dan gaji ke-13 ini dipercepat jelang pemilihan, dan semua ini atas nama petahana," tutur Priyo.
Tanggapan MK
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono mengatakan MK memfasilitasi
para pihak berperkara di perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk mengajukan saksi dan ahli.
Namun, pihaknya membatasi hanya 15 saksi dan dua ahli yang diajukan masing-masing pihak berperkara.
Baca: Ingat Remaja Seberat 192 Kg di Karawang? Beratnya Turun Drastis, Butuh Rp 200 Juta untuk Operasi
Apabila para pihak ingin mengajukan lebih dari 15 saksi dan 2 ahli, kata dia, dapat menyampaikan kepada hakim konstitusi.
"Silakan disampaikan ke majelis hakim dalam persidangan tergantung nanti majelis hakim memutuskan seperti apa," kata Fajar Laksono, kepada wartawan, Senin (17/6/2019).
Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade sempat mengatakan terdapat kurang lebih 30 orang yang akan memberikan kesaksian pada persidangan.
Mereka menurutnya meminta jaminan keamanan kepada tim hukum Prabowo-Sandiaga sebelum memberikan kesaksiaan.
Demi keselamatan saat memberikan keterangan, saksi yang dihadirkan dapat menggunakan sejumlah metode LPSK, seperti bersaksi dari jarak jauh menggunakan teleconference, berbicara di ruangan bertirai hitam untuk menyamarkan lokasi saksi, hingga menyamarkan sejumlah informasi tentang saksi demi keselamatan pribadi.
Menanggapi hal itu, Fajar Laksono mengaku tidak mempermasalahkan apabila persidangan dilakukan dari jarak jauh.
Pihaknya sudah mempunyai aturan untuk persidangan jarak jauh, namun belum mengetahui mekanisme sidang jarak jauh seperti apa.
Dia menjelaskan, MK sudah mempunyai fasilitas untuk menggelar persidangan jarak jauh.
Fasilitas itu ditempatkan di 42 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia.
Sarana-prasarana itu dimungkinkan di persidangan MK. Sampai saat ini, pihaknya belum menerima permohonan dari pihak berperkara.
Namun, apabila ada permohonan, nanti akan diputuskan majelis hakim apakah menggunakan fasilitas tersebut.
"Tergantung majelis. Itu yang kami punya seperti itu, MK mempunyai fasilitas video conferense yang kami letakkan di 42 fakultas hukum di seluruh Indonesia. Apakah akan memanfaatkan itu atau engga ya monggo (silakan,-red)" tambahnya.
Untuk diketahui, MK mempunyai waktu selama 14 hari untuk menangani permohonan PHPU yang diajukan.
Setelah meregistrasi perkara pada hari Selasa (11/6/2019), pihak MK mengirimkan salinan berkas permohonan kepada pihak termohon, yaitu KPU RI, dan pihak terkait, tim hukum pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo dan Maruf Amin.
Kemudian pada 14 Juni 2019, MK akan memutuskan lanjut atau tidaknya sengketa ke tahapan persidangan dengan mempertimbangkan permohonan beserta barang bukti yang diajukan.
Agenda ini dikenal dengan sidang pendahuluan.
Selanjutnya pada 17 hingga 21 Juni 2019 MK akan melanjutkan sidang dengan agenda pemeriksaan pembuktian.
Baca: Fadli Zon Keluhkan Jadwal Sidang Sengketa Pilpres, MK : Sudah Diatur Jelas di Undang-Undang
Pada 24 sampai 27 Juni 2019 diagendakan sidang terakhir dan rapat musyawarah hakim.
Secara resmi, MK membacakan sidang putusan pilpres pada 28 Juni 2019. Hingga 2 Juli 2019 MK akan menyerahkan salinan putusan.