Rangkuman Hasil Sidang Ketiga Sengketa Pilpres 2019 di MK, Keterangan Saksi Tim Hukum Prabowo-Sandi
Sidang ketiga sengketa Pilpres 2019 digelar oleh MK pada Rabu (19/6/2019), berikut rangkuman berbagai keterangan saksi tim hukum Prabowo-Sandi.
Penulis: Lailatun Niqmah
Editor: Fitriana Andriyani
"Muncul di situ P.155, yang disebut DPT tidak wajar sebanyak 17,5 juta, tapi saya cari tidak ada itu."
"Ini penting sekali, sehingga kita clear tahu di mana kemudian NIK yang tidak sesuai, termasuk KK yang tidak sesuai itu," sambung Enny.
Kuasa hukum Prabowo-Sandi lantas meminta agar diberikan kesempatan untuk membuktikannya pada tahap pembuktian surat-surat.
Menanggapi hal itu, Hakim MK Aswanto mengatakan bahwa pembuktian surat-surat sudah masuk.
Sementara pada sidang kali ini adalah saatnya untuk kroscek.
"Kalau memang ada ya mari sama-sama kita lihat, tapi ternyata, menurut saudara, karena timnya masih ada kerjaan lain, tetapi di daftar bukti yang diberikan, bukti itu tercantum, tapi kemudian fisiknya tidak ada," kata Aswanto.
"Kalau mau menghadirkan fisiknya, kesempatannya saat ini," imbuhnya.
Hakim Ancam Usir Bambang Widjojanto
Dikutip dari tayangan KompasTV, Hakim Arief Hidayat bertanya kepada saksi yang dihadirkan kubu 02.
Akan tetapi, di tengah dialog, Ketua Tim Hukum 02 Bambang Widjojanto terus menyela dan memberikan pembelaan.
Akibatnya, hakim mengancam akan mengusir Bambang jika tidak mau berhenti.
Hal itu bermula ketika saksi bernama Idham ditanya peranannya saat pilpres.
Idham mengaku tidak memiliki posisi apa-apa dan tinggal di kampung.
Hakim yang bingung kemudian meminta penjelasan lebih lanjut dari Idham.
"Sekarang saya tanya posisi Anda apa di dalam tim?" tanya hakim MK kembali.
"Sebagai orang yang diminta untuk memberikan kesaksian tentang perusakan DPT," jawab Idham.
"Lho enggak, pada waktu pilpres kemarin, kalau Anda di kampung, mestinya yang Anda ketahui kan situasi di kampung itu bukan nasional," kata hakim MK kembali.
Bambang Widjojanto pun menyela pernyataan hakim, dengan menyebut bahwa majelis menghakimi saksi.
"Bapak sudah menjudgemen seolah orang kampung tidak tahu apa-apa, itu juga tidak benar. Mohon dengarkan saja dulu Pak apa yang akan dijelaskan, beliau ini orang yang sangat humble pak," ucap Bambang Widjojanto.
Mendengar hal itu, hakim langsung memberikan ancaman.
"Saya kira, saya sudah cukup saya akan berdialog dengan dia, Pak Bambang sudah setop, PaK Bambang setop, kalau tidak setop Pak Bambang saya suruh keluar," kata hakim.
Hakim Tegur Kuasa Hukum 01
Dalam sidang, hakim juga sempat memberikan teguran kepada kuasa hukum 01, lantaran dianggap memberikan pertanyaan yang menjebak saksi.
"Saya majelis dari tadi berpikir, apa yang mau saudara kejar dengan pertanyaan-pertanyaan saudara ini? Apa yang ingin saudara kejar?" tanya Hakim I Dewa Gede Palguna, dikutip dari KompasTV.
"Saya ingin mengecek apakah benar apa yang disampaikan di dalam data-data tadi yang pertama yang mulai. Lalu yang kedua, nanti apakah benar ada pergeseran dengan jumlah yang cukup besar," kata anggota tim hukum Jokowi-Ma'ruf, Sirra Prayuna.
"Ya tapi apa perlu melingkar sejauh itu? Coba, bisa nggak lebih to the point supaya lebih efektif," lanjut Hakim Majelis I Dewa Gede Palguna.
"Kita kan sepakat ini adalah saksi fakta. Dia bukan ahli. Pertanyaan kita jangan pertanyaan untuk ahli," kata Hakim Aswanto menimpali.
"Kalau saudara menanyakan titik mana, itu untuk ahli. Dia nggak ngerti nanti. Supaya imbang, dia saksi, tidak boleh berpendapat, pertanyaan kita juga jangan menjebak dia untuk berpendapat," sambungnya.
Teguran lain juga diberikan oleh Hakim Suhartoyo.
"Pak Sirra, pertanyaan Anda kan 'apa saja' tadi. Dengan kalimat pertanyaan yang diawali dengan 'apa saja', itu akan menjebak saksi untuk berpendapat," ujar Hakim Suhartoyo.
"Sebaiknya diganti dengan pertanyaan lain. Jangan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjebak ataupun menggiring saksi pada sebuah pendapat."
"Kalau pertanyaan demikian, formulanya mestinya 'apakah Anda tahu syarat apa saja blablabla' teruskan. Kalau tidak bisa, ganti dengan pertanyaan yang lain!," imbuh Hakim Suhartoyo.
Haris Azhar Tolak Hadir sebagai Saksi
Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar menolak hadir sebagai saksi kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sidang sengketa Pilpres 2019.
Sebelumnya, Hasir Azhar disebutkan bakal hadir sebagai saksi di persidangan, Rabu (19/6/2019).
Haris Azhar menolak hadir dengan alasan bukan dirinya yang diundang.
"Saya menolak untuk hadir. Yang harus diundang itu Sulman Aziz. Bukan saya yang diundang," ujar saat diwawancarai melalui sambungan telepon oleh Kompas TV dalam program Breaking News, Rabu (19/6/2019) petang.
Muncul 2 Saksi 'Ilegal' di Persidangan
Majelis Hakim MK mengungkap ada dua saksi 'ilegal dari kubu 02.
Dikutip dari Tribunnews.com, Hakim MK Suhartoyo mengatakan bahwa pihaknya hanya menerima daftar saksi berupa tulisan tangan dalam secarik kertas.
Tulisan tersebut berisi 15 saksi fakta dan 2 saksi ahli.
Tim Hukum BPN, Teuku Nasrullah mengatakan pihaknya mencoret dua saksi, yakni Beti Kristiana dan Risda Mardiyana, sehingga saksi hanya ada 15 orang.
Akan tetapi, saat maju untuk disumpah, muncul dua saksi 'ilegal'.
“Karena Pak Haris Azhar dan Said Didu belum hadir maka tadi pagi harusnya 13 saksi saja yang dimintai sumpah, tapi secara fisik ada 15 yang maju, karena pencoretan itu belum disampaikan maka hakim ketua tidak tahu. Ternyata ada dua saksi yang tidak dicatat tapi maju ikut disumpah bernama Suwarno dan Mulyono,” kata Suhartoyo.
Oleh karena itu, dua saksi itu dilarang masuk ruang sidang, meski sudah diambil sumpahnya.
“Dua saksi yang dalam tanda petik ilegal tidak boleh hadir lagi di ruangan ini meskipun sudah diambil sumpahnya,” kata Hakim MK Saldi Isra.
Pada akhirnya Beti Kristiana dan Risda Mardiana tetap hadir sebagai saksi dari BPN, sementara Haris Azhar menolak untuk menjadi saksi bagi BPN.
Secara total ada 14 saksi fisik dan 2 saksi ahli yang dihadirkan BPN Prabowo-Sandi.
Saksi 02 Mengaku Dapat Intimidasi dan Ancaman
Dikutip dari Tribunnews.com, Nur Latifah, saksi yang dihadirkan kubu 02 mengaku mendapat intimidasi dan ancaman.
Dalam kesaksiannya, Nur Latifah mengaku berdada di Dusun Wonosari, Desa Karangjati, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah ketika hari pencoblosan 17 April 2019.
Nur Latifah mengatakan ada seorang anggota anggota KPPS (Kelompok Panitia Pemungutan Suara) mencobloskan surat suara bagi sekitar 15 pemilih lansia.
“Saya mendapat intimidasi dari banyak orang dimana tanggal 19 April 2019 sekitar pukul 11 malam saya dipanggil ke salah satu rumah warga di mana sudah berkumpul ketua KPPS, anggota KPPS, tokoh masyarakat, tokoh agama, perangkat desa, kader partai, dan preman, saya perempuan sendiri," kata Nur Latifah.
"Di sana saya ditanya posisi sebagai apa di dalam sebuah video, saya dituduh menyebarkan video itu padahal bukan, saya dituduh menyebarkan dokumen negara dan dituduh sebagai penjahat politik, langsung disuruh pulang,” imbuhnya.
Nur Latifah yang kuliah di Semarang mengaku pagi harinya mendapat ancaman pembunuhan.
Dua hari berikutnya, ia ditemui pihak yang sama agar tutup mulut.
Karena masih aman, Nur Latifah tidak melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
“Kalau tidak ada ancaman pembunuhan langsung kepada saya, saya menganggap tidak masalah."
"Tapi saya beberapa kali mendapat teror ancaman telepon yang mengecam saya sebagai penjahat politik. Saya tahu merupakan kerabat anggota KPPS yang membantu mencobloskan tersebut,” ujar Nur Latifah.
Saksi Lihat Deklarasi Ganjar Pranowo dan 32 Kepala Daerah
Saksi Listiani di persidangan mengaku sebagai pelapor Gubernur Ganjar Pranowo dan 32 kepala daerah lain, yang disebut mendeklarasikan diri mendukung paslon 01 dengan menyebutkan jabatan mereka.
Dikutip dari tayangan live KompasTV, Ketika dicecar hakim, saksi mengaku melihat dari video, tidak secara langsung, satu hari pasca deklarasi.
Ia mengaku melihat video tersebut dari YouTube, kemudian melaporkannya ke Bawaslu Provinsi Jawa Tengah.
Saksi Penasihat IT Fadli Zon Sebut Ada 'Delay' di Situng KPU
Penasihat IT Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Hermansyah hadir sebagai saksi di persidangan.
Ia menceritakan adanya delay pengiriman teks dan file hasil input ke Sistem Informasi Penghitungan (Situng) KPU.
Sebagai contoh, di KPUD Bogor, scan C1 dan teks berisi informasi di dalam C1 waktu masuknya tidak masa.
Ia pun menyebut seharusnya tidak terjadi delay tersebut.
"KPU pusat banyak sekali kelemahan dari sisi pelaporan. Saya membaca 73 ribu di sisi input, kami laporkan ke Bawaslu. Kelemah paling mendasar ada pada bagaimana melakukan input di situng."
"Dengan adanya teknologi sekarang yang kita punya seharusnya kesalahan dan kelambatan tidak lagi terjadi," ujarnya, dikutip dari KompasTV.
Said Didu Jelaskan soal Status BUMN
Mantan sekretaris kementerian BUMN Said Didu hadir dalam persidangan.
Dalam kesaksiannya, Said Didu menerangkan sal BUMN, perangkat BUMN, dan sikap BUMN dalam pemilu, termasuk kenetralan BUMN.
(TribunWow.com/Lailatun Niqmah)
Artikel ini telah tayang di Tribunwow.com dengan judul Rangkuman Sidang Ketiga Sengketa Pilpres 2019: Hakim Ancam Usir BW hingga Munculnya 2 Saksi Ilegal.