Wiranto Heran Korban Meninggal Dalam Kerusuhan 22 Mei Diributkan
Menkopolhukam Wiranto membantah bila proses penyelidikan meninggalnya 9 orang dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019 Jalan di tempat.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto membantah bila proses penyelidikan meninggalnya 9 orang dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019 Jalan di tempat.
Ia juga heran mengapa korban meninggal tersebut diributkan.
"Jalan di tempat siapa bilang. Proses terus jalan itu. Tapi kok kenapa diributkan ya?" kata Wiranto di Kompleks Parlemen, senayan, Jakarta, Selasa, (25/6/2019).
Wiranto mengatakan korban meninggal merupakan perusuh yang menyerang aparat.
Baca: Pengakuan Juru Kunci Saat Gali Makam Soeharto yang Dengar Ledakan, Eks Bupati Wonogiri Sebut Isyarat
Baca: Pertama Kali Tanam Mangrove, Shireen Sungkar Senang Bisa Melestarikan Lingkungan
Baca: Komplotan Pencuri Nekat Tabrakan Mobil Curian ke Polisi yang Menghadangnya, Begini Nasibnya
Mereka merupakan perusuh yang menyerang anggota Brimob.
Menurutnya mereka yang meninggal bukan pengunjukrasa di arena demonstrasi damai.
"Sudah dipastikan bahwa yang meninggal ini pada saat ada penyerbuan perusuh di instalasi instalasi kepolisian. Jadi itu dulu jangan di campur adukan. Kalau meninggalnya di instalasi damai, itu masalahnya lain," katanya.
Menurut mantan Panglima TNI itu, tidak ada kesewenang-wenangan polisi dalam menangani aksi unjuk rasa 21-22 Mei.
Polisi telah bertindak sesuai prosedur saat ada perusuh mencoba menyerang aparat.
Menurut Wiranto butuh proses dalam menyelidiki korban meninggal kerusuhan 21-22 Mei.
Butuh waktu lama untuk menyelidiki proyektil peluru yang menyebabkan adanya korban meninggal.
"Soal kemudian nanti terbunuhnya bagaimana, yang menembak siapa, pelurunya dari mana, jaraknya bagaimana. Pemeriksaan proyektil itu gak cepet ya. Itu pakai pemeriksaan di laboratorium, lama, lama memang. Sehingga kita juga menunggu. Masih menunggu, saya juga senang kalau cepat. Lebih cepat lebih bagus, tapikan proses penyidikan engga bisa lebih cepat, ada prosesnya," katanya.
Amnesty Internasional
Amnesty Internasional Indonesia mendesak Polri segera mengusut tuntas dugaan kekerasan yang dilakukan oleh Anggota Brimob terhadap massa aksi pada 21-22 Mei 2019, lalu.
Peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat pun menyoroti soal kekerasan yang dilakukan anggota Brimob di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Papang mengatakan, ada lima orang di lahan kosong milik Smart Service Parking di Kampung Bali mendapatkan tindak penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya dari para anggota Brimob.
"Kita mengidentifikasi ada lima orang dan ini kejadiannya pada tanggal 23 Mei pukul 05.30 WIB ada personil Brimob yang memaksa masuk, minta dibukakan pintu oleh petugas Smart Service Parking dan kemudian polisi mendapati ada satu rumah yang sudah rusak dan ada orang tidur di dalamnya yang biasa nongkrong di situ pun diambil," kata Papang saat rilis hasil investigasi Amnesty Internasional Indonesia di Kantor Amnesty Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2019).
Baca: Sebut Anak BUMN Bukan BUMN, Anggota Tim Hukum BPN: Argumentasinya Koruptif
Papang pun mendesak pihak kepolisian mengungkap pelaku penyiksaan itu. Pasalnya, polisi berjanji akan mengungkap oknum yang telah menyalahi prosedur tetap kepolisian.
"Itu harus dilakukan investigasinya. Sudah sebulan lebih, tapi publik belum menerima hasilnya," tambahnya.
Amnesty menganggap insiden Kampung Bali menjadi bagian persoalan. Sebab, kemunculan insiden ini membuktikan kegagalan Indonesia dalam membuat terang praktik penyiksaan.
Terlebih, saat kejadian tersebut, lanjut Papang, Brimob tidak bisa memilah mana pihak yang memang terlibat dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019.
"Polisi tidak bisa memilah mana yang melakukan (aksi kerusuhan) dan mana yang tidak," ungkapnya.
"Pertama adalah penyiksaan bukan bagian dari tindak pidana dalam sistem kita. Kedua, mekanisme sistem investigasi dugaan penyiksaan itu harus dilakukan independen. Bukan dari institusi yang melakukan. Itu pekerjaan rumah buat pemerintah saat ini," jelas Papang.
Tak hanya itu, Papang juga menegaskan banyak pihak yang menunggu investigasi yang dilakukan oleh Polri.
Ia menilai, investigasi ini harus dilakukan untuk mengusut soal tindak kekerasan termasuk kejadian salah tangkap di Kampung Bali dan sejumlah wilayah di Jakarta.
Peluru tajam
Dikutip dari kompas.com, empat dari sembilan korban tewas ketika kerusuhan 21-22 Mei 2019 dipastikan akibat terkena peluru tajam.
Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Asep Adi Saputra mengatakan, polisi tidak menemukan adanya tembakan ganda pada korban yang diduga perusuh.
Baca: Ingat Remaja Seberat 192 Kg di Karawang? Beratnya Turun Drastis, Butuh Rp 200 Juta untuk Operasi
"Hasilnya bahwa empat jelas itu merupakan korban meninggal karena adanya peluru tajam," kata Asep saat konferensi pers di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (17/6/2019).
Hasil itu didapat dari proses otopsi yang dilakukan di rumah sakit milik Polri.
Sementara itu, terhadap lima korban lain, polisi tidak melakukan otopsi karena sudah dibawa oleh pihak keluarga.
Dari kelima jenazah tersebut, empat orang diindikasi kuat juga meninggal karena peluru tajam. Satu korban lain diduga meninggal karena hantaman benda tumpul.
Hasil itu didapatkan dari proses visum luar yang dilakukan rumah sakit lainnya.
Baca: Dua Korban Tewas Kecelakaan Maut Tol Cipali Baru Pulang Berlibur dari Dieng
"Yang lima (korban lainnya), empatnya juga diindikasi kuat meninggal karena peluru tajam dan satunya meninggal dunia karena kekerasan benda tumpul," kata Asep.
Saat ini, polisi masih melakukan uji balistik terhadap proyektil yang ditemukan dan berkoordinasi dengan lembaga lain.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.