Pengamat: PAN dan Demokrat Tak Perlu Bergabung ke Koalisi Jokowi-Maruf
Oposisi yang elegan ditambah dukungan publik yang kuat, imbuh dia, akan dapat menjadi mitra kritis pemerintah membangun negeri ini.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai tidak perlu tambahan partai politik dari opsisi bergabung ke koalisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-KH Maruf Amin.
Menurut Ray Rangkuti, komposisi koalisi pemerintah dan oposisi sudah relatif seimbang.
"Karena itu pula, tidak perlu terlalu memaksakan agar lebih banyak partai masuk ke dalam koalisi Jokowi," ujar Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Minggu (30/6/2019).
Sebab, banyak parpol dalam deretan pendukung Jokowi juga dapat berakibat tidak baik bagi demokrasi Indonesia.
Baca: 5 Momen Kebersamaan Jokowi Maruf Amin Jelang Penetapan Presiden Wakil Presiden Terpilih oleh KPU
Baca: Ini Sosok yang Wakili Prabowo di Penetapan Presiden, Disambut Tepuk Tangan & Cium Tangan Maruf Amin
Baca: Denada Tulis Curhatan Menyentuh untuk Jerry Aurum yang Terjerat Kasus Narkoba, Selalu Beri Dukungan
Baca: Inter Milan dan Kesepakatan Anti-Juventus dalam Penjualan Pemain
Baca: Sering Bergaya Hidup Mewah, Beginilah Tampilan Dapur Barbie Kumalasari yang Jadi Sorotan
"Keseimbangan kekuasaan tidak berjalan dengan semestinya," tegas Ray Rangkuti.
Dengan lima partai yang ada saja, yakni PDI Perjuangan, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), NasDem dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)--komposisinya sudah hampir 60 persen kursi legislatif dikuasai oleh petahana.
Apalagi jika kata dia, Partai Demolrat atau Partai Amanat Nasional (PAN) akan bergabung dalam kekuasaan Jokowi-KH Maruf Amin.
Dia menegaskan, negara demokrasi yang kuat harus diimbangi oleh kekuatan oposisi yang elegan.
"Selain kualitas oposisinya harus dikembangkan, besaran pendukungnya juga harus berimbang," ucap Ray Rangkuti.
Oposisi yang elegan ditambah dukungan publik yang kuat, imbuh dia, akan dapat menjadi mitra kritis pemerintah membangun negeri ini.
"Dan itu akan membuat negara kita kuat dan bergerak dinamis," kata dia.
Di bagian akhir Ray Rangkuti menegaskan, hanya Presiden yang kurang percaya diri yang menginginkan serta membutuhkan banyak dukungan kepadanya.
"Tapi presiden yang juga memperhatikan betapa demokrasi harus dikelola, ia juga akan mendorong lahir dan kuatnya gerakan oposisi," jelasnya.
Sinyal 5 partai
Arah politik, parta-partai yang tergabung dalam koalisi Adil Makmur pun menjadi pembicaraan hangat setelah putusan MK.
Diketahui lima partai politik, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Berkarya tergabung dalam Koalisi Adil Makmur.
Koalisi Prabowo-Sandiaga tersebut sudah dinyatakan dibubarkan.
Beberapa partai dalam koalisi tersebut sedari awal sudah menegaskan akan menentukan arah politiknya setelah putusan MK.
Sinyal opsi akan bergabung dengan partai pemerintah atau Koalisi Indonesia Kerja, atau opsi tetap bersama Koalisi Adil Makmur untuk menjadi partai oposisi di parlemen sudah ditunjukan masing-masing elite partai.
1. Sinyal partai Berkarya
Sekjen Partai Berkarya, Priyo Budi Utomo, mengisyaratkan bila partai besutan Tommy Soeharto tersebut tetap berada dalam lingkaran koalisi Adil Makmur apa pun keputusan Mahkamah Konstitusi.
"Saya menganut mazhab bahwa membangun oposisi yang konstruktif dan kuat ke depan adalah pekerjaan halal dan barokah," kata Priyo di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2019).
Priyo memaklumi bahwa tak semua pihak di mana pun tak memiliki pertimbangan seperti dirinya.
"Godaan pragmatisme politik kan ada di depan kita. Semua ini tergantung bagaimana kita untuk hal ini," lanjutnya
2. Sinyal PKS
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera mengajak semua koalisi Adil Makmur dan Rakyat Indonesia menjadi Oposisi Konstruktif bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo–Maruf Amin.
"Saatnya kita merapikan barisan untuk menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah. Selama kita istiqomah membela rakyat sama saja kebaikan yang di dapat, baik di dalam ataupun di luar pemerintahan," kata Mardani Ali Sera kepada Tribunnews.com, Jumat (28/6/2019).
Menurut Mardani Ali Sera, koalisi Adil Makmur sangat layak diteruskan menjadi kekuatan penyeimbang untuk mengawal agar pembangunan benar-benar ditujukan untuk kepentingan rakyat.
"Saatnya Membangun Oposisi kritis dan konstruktif. Untuk pembangunan bangsa berkelanjutan yang efektif perlu dikawal bersama, agar kesalahan-kesalahan periode sebelumnya bisa diperbaiki untuk kemakmuran rakyat," tegas Mardani Ali Sera.
"Kita berharap dan berdoa semoga kedepan bangsa ini memperoleh keberkahan, memuliakan ulama dan mencintai rakyatnya," ucapnya.
3. Sinyal Gerindra
Anggota Dewan Pembina Gerindra Maher Algadri tidak ingin Prabowo Subianto bertemu Jokowi bila membicarakan tawaran koalisi.
"Kalau saya bilang jangan (bertemu), proses demokrasi itu adalah pemilihan," ujar Maher di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis tengah malam, (27/6/2019).
Dalam negara demokrasi idealnya menurut Maher pihak yang menang berada di pemerintahan, sementara yang kalah menjadi oposisi.
Sehingga, ada Check and Balance dan menjalankan roda pemerintahan.
"Jadi yang kalah biar tetap kalah, yang menang, (tetap) menang. Biar yang kalah di luar menjadi oposisi, kalau enggak, bukan demokrasi. Masa semua pada kongko-kongko. Jangan, yang sehat dong. Selalu ada check and balance, jadi yang kuasa dikontrol oleh oposisi," katanya.
Apalagi menurutnya, Prabowo didukung oleh 45 persen pemilih di Indonesia.
Jumlah tersebut bukan lah kecil.
Amanat 45 persen pemilih tersebut yang harus tetap dijaga.
"Oposisi serius loh. 45 persen itu bukan kecil. Besar sekali, makanya, ini kan bukan masalah prabowo atau apa, ini masalah 45 persen itu 70 juta lebih. Harus dihargai," katanya.
Terkait kabar adanya internal Gerindra yang menginginkan adanya rekonsiliasi dan masuk koalisi pemerintah,menurut Maher merupakan hal yang biasa di negera demokrasi.
"Dimana mana itu selalu ada yang pro kontra. Namanya negara demokrasi engga ada yang diberangus, oh, lo pro atau lo kontra. Lo pun bebas, lo boleh kasih pendapat, engga ada yang menolak (melarang)," pungkasnya.
4. Sinyal Demokrat
Sekjen Partai Demokrat, Hinca Panjaitan mengatakan koalisi partai pengusung pasangan calon presiden pada Pemilu 2019 telah berakhir.
Termasuk koalisi Adil Makmur yang mengung pasangan calon Prabowo-Sandiaga.
"Koalisi 5 partai politik ini dalam rangka mengusung pasangan calon presiden dan cawapres. Kemarin setelah diketuk putusan oleh MK, tak ada lagi calon presiden. Yang ada adalah presiden terpilih, ada presiden tidak terpilih. Maka koalisi untuk pasangan calon presiden itu telah berakhir," kata Hinca di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (28/6/2019).
Pertemuan pada hari ini pun bakal disampaikan Hinca kepada Majelis Tinggi Partai Demokrat, sehingga keputusan apakah bakal merapat ke pemerintah belum bisa diputuskan dalam waktu dekat.
"Kami sedang menuntaskan ini dulu satu-satu. Kalau ibarat pertandingan itu sudah ditiup, selesai, tentu salam-salam. Jadi sebelum ditiup enggak mungkin salaman," katanya.
Dikutip dari kompas.com, Ketua Divisi Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menyatakan partainya siap berada di dalam dan luar koalisi pemerintahan periode 2019-2024.
Meski demikian, ia mengatakan, Demokrat siap mendukung bila diminta Presiden Joko Widodo bergabung ke koalisi pemerintahan.
"Kalau Pak Jokowi meminta tentu kita siap mendukung beliau. Kalau tidak diminta kita juga siap," ujar Ferdinand saat dihubungi, Selasa (25/6/2019).
"Partai Demokrat tak akan mengajukan diri untuk diambil sebagai partai koalisi pemerintah. Tetapi kami lebih pasif dan akan menunggu. Kalau beliau mengajak tentu kami akan melakukan komunikasi nanti," tambahnya.
Ia menambahkan, saat ini partainya intensif menjalin komunikasi dengan koalisi Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Bahkan, komunikasi Demokrat lebih intensif dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf dibandingkan dengan koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Ferdinand menambahkan, komunikasi Demokrat dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf saat ini sedang menyamakan persepi ihwal masalah-masalah pembangunan di Indonesia.
Ia mengatakan, komunikasi tersebut tak langsung menjurus membahas pembentukan koalisi pemerintahan.
Menurut dia, jika nantinya Jokowi mengajak Demokrat bergabung, maka komunikasi berlanjut antara Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Jokowi langsung.
"Apakah Pak Jokowi sebagai pemimpin presiden terpilih akan mengajak Partai Demokrat? Kalau beliau mengajak tentu kami akan melakukan komunikasi nanti. Dan level komunikasinya tentu pasti akan dengan ketua umum," lanjut Ferdinand.
5. Sinyal Partai Amanat Nasional (PAN)
Dikutip dari kompas.com, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengatakan koalisi Adil dan Makmur telah berakhir menyusul hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan dalam sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan Tim Hukum 02.
Zulkifli memastikan, berakhirnya koalisi Adil dan Makmur tersebut sudah berdasarkan restu dari Prabowo sendiri.
"Saya tadi lama di tempat Pak Prabowo dari setengah dua sampai setengah lima. Pak Prabowo tadi menyampaikan ke saya dengan berakhir putusan MK, maka Koalisi (Adil dan Makmur) sudah berakhir," kata Zulkifli Hasan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/6/2019) malam.
Karena itu, terang Zulkifli, Prabowo pun mempersilakan kepada partai-partai di dalam koalisi Adil dan Makmur mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan langkah ke depan.
"Silakan partai-partai mengambil inisiatif sendiri," kata Zulkifli menirukan pernyataan Prabowo.
Zulkifli memastikan, PAN akan segera melakukan rapat internal untuk menentukan langkah dan sikap partai.
Rapat internal partai, ujarnya, akan segera dilakukan dalam waktu dekat.
Meski demikian, dalam pemaparannya, Zulkifli tak menyebutkan apakah PAN akan memutuskan untuk mencoba bergabung dengan petahana atau tidak.
"Nanti akan ditentukan waktunya," kata Ketua MPR RI ini.(*)