PUPR Ungkap Sulitnya Atasi Backlog Perumahan, Angkanya Capai 12,7 Juta
Angka backlog perumahan atau kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah di Indonesia masih sangat tinggi, mencapai 12,7 juta.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna mengatakan, angka backlog perumahan atau kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah di Indonesia masih sangat tinggi, mencapai 12,7 juta.
Menurutnya, backlog perumahan bukan hal yang mudah untuk diatasi karena tingginya permintaan pasar.
“Backlog kepemilikan saat ini ada 12,7 juta yang belum punya rumah, pertambahannya setiap tahun konon sekitar 780 ribu rumah tangga yang harus diberi oleh pemerintah,” katanya dalam FGD seputar pemenuhan perumahan bagi ASN dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Hotel Ayana, Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Baca juga: Sekda DKI yakin Pembangunan Hunian Terjangkau Selesaikan Masalah Backlog Perumahan di Jakarta 2045
Herry menyebut pemberian tempat tinggal sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Untuk menuju Indonesia Emas 2045 tanpa backlog perumahan, lanjut dia, pemerintah mesti mendorong penyediaan perumahan setidaknya sebanyak 1,5 juta setiap tahunnya.
Namun, saat ini pemerintah baru dapat mendorong penyediaan rumah sebanyak 200-300 ribu per tahunnya.
"Sekarang ini debitnya 300 ribu tapi keluarnya 780 ribu ibarat ngisi bak tapi nggak pernah penuh. Jadi backlog akan terus seperti itu," kata Herry.
Pemerintah berupaya menyelesaikan permasalahan backlog perumahan ini lewat sejumlah program, antara lain fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi bantuan uang muka (SBUM), dan BP Tapera.
Herry menuturkan bahwa ketiga program ini nyatanya masih kurang untuk dapat membantu pemenuhan penyediaan perumahan, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Dengan angka ini seharusnya kita bisa berpikir, apa yang harus dilakukan, bagimana masing-masing pemerintah daerah ini bisa berperan," imbuhnya.
Lebih lanjut, PUPR juga memaparkan keberadaan rumah tidak laik huni.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tercatat target penyediaan rumah layak huni minimal mencapai 70 persen.
Baca juga: PPN DTP Dinilai Bisa Jadi Solusi Jangka Pendek untuk Tekan Angka Backlog Perumahan
“Rumah laik huni baru mencapai 56,7 persen di Indonesia atau kalau dihitung ada sebanyak 7,8 juta rumah tangga,” ungkapnya.
Permasalahan lainnya yakni pemenuhan kebutuhan rumah untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal.
Angkatan kerja ini merupakan yang terbesar tetapi dukungan pembiayaan perumahannya justru menjadi yang paling kecil dibandingkan sektor lainnya.
“Karena kita serahkan ke mekanisme pasar. Bank itu yang dicari yang aman. Giliran yang informal baru masuk halaman nggak diterima," imbuhnya.
Herry menilai perlu adanya penguatan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah.
Menurut dia, persoalan ini tidak dapat serta merta dipegang oleh pemerintah pusat secara penuh mengingat pemerintah daerah lah lebih mengetahui kondisi lapangan serta data-data pendukungnya.
"UU 23 yang membatasi pemda untuk berurusan dengan MBR ya harus kita ubah. Yang punya MBR itu justru kab/kota. Tapi hari ini ketika kab/kota menyentuh MBR jadi salah," ujarnya.