Bacaan Imam Masjidil Haram Larutkan Jamaah
Selain panas, aktivitas kerja dan ibadah di sini lebih disiplin tertib, teratur, dan aman. Saat pelaksanaan Ramadan, kondisi Masjid Nabawi di Madinah
Editor: Dewi Agustina
Laporan Tribunnews.com Candra P. Pusponegoro dari Makkah Arab Saudi
TRIBUNNEWS.COM, MAKKAH - Muhammad Nuruddin, pria kecil asal Lombok tampil bersahaja. Berkumis tipis dan jenggotnya tidak menjulur seperti kebanyakan pria Indonesia di Arab lainnya. Pada Ramadan 1433 Hijriyah ini, usianya 26 tahun. Tidak terasa dirinya sudah tinggal di Kota Mekkah (tanah suci umat Islam sedunia) Arab Saudi selama hampir 5 tahun lamanya.
Tahun 2005 lalu, niat awal pergi ke Mekah hanya untuk mengaji. Sesampainya di sini, keinginannya lebih dari itu, lalu dia memutuskan belajar di sebuah universitas. Seperti halnya mahasiswa yang menempuh kuliah di negara lain. Lima tahun tinggal di daerah yang sangat panas, tidak menghalanginya untuk berpuasa. Kenyataannya sungguh berbeda jika dibandingkan dengan melakukan puasa di Tanah Air.
Selain panas, aktivitas kerja dan ibadah di sini lebih disiplin tertib, teratur, dan aman. Saat pelaksanaan Ramadan, kondisi Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah lebih bersih. Suasana bersih tidak hanya di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram saja, melainkan seluruh masjid-masjid di Arab Saudi melakukan hal yang sama.
"Selama belajar di sini, saya selalu berurusan dengan jemaah dari Tanah Air yang akan melaksanakan ibadah umrah dan haji. Alhamdulillah umat muslim dari Indonesia paling banyak jumlahnya yang ke sini," ujar pria bernama lengkap Muhammad Nuruddin Alawi, Rabu (1/8/2012).
Jika ditanya akan rasa rindu terhadap kampung halaman, ia hanya mengangguk dan manggut-manggut saja. Teringat ketika masa kecilnya di kampung, saat waktu sahur tiba anak-anak kecil beramai-ramai membawa kentongan. Kemudian memukul kentongan dan membuat bunyi-bunyian yang ramai sambil membangunkan warga muslim yang akan sahur.
Selama tinggal di sini, kata Nuruddin, dia tidak pernah mendengar lagi aktivitas yang terdengar di masa kecilnya. Termasuk seluruh masjid juga tidak pernah meneriakkan kata-kata seperti itu saat sahur tiba. Kendati demikian, khusus prosesi ibadah suasananya lebih syahdu, khusyuk, dan tidak akan pernah membosankan. Dari Ramadan ke Ramadan setiap tahunnya banyak kemudahan yang dia terima.
"Meski berbeda dengan kebiasaan di Tanah Air, rasa kangen saya terobati jika jemaah calon haji atau umrah datang ke sini. Obat kangen saya sama keluarga dan kampung halaman adalah datangnya jemaah dari Indonesia," ujarnya.
Lima tahun lalu ia menikmati Ramadan di Lombok, namun suasananya kurang bersahabat. Di kota, waktu siangnya tidak terlihat suasana puasa Ramadan sama sekali. Masih banyak orang yang makan, minum, atau merokok dis embarang tempat. Bahkan restoran atau kedai minuman berjualan seperti umumnya di luar puasa Ramadan.
Suatu saat di Tanah Air, dia pernah salat berjamaah di sebuah musala. Cukup mencenangkan sebab orangnya cuma satu. Dia yang melakukan azan dan iqamat serta dia sendiri yang menjadi imam. Sungguh sedih jika Nuruddin mengingat kejadian itu. Tetapi di tempat lain, rasa gembiranya terobati karena pelaksanaan tarawihnya hampir satu juz.
Di Tanah Air, menjelang 10 hari terakhir Ramadan situasi pasar yang ada di sekeliling sangat ramai. Sementara kondisi masjid menjadi sepi, terlebih jika jamaah sudah mulai melakukan i'tikaf (berdiam diri dalam masjid). Berbeda di Mekkah atau Madinah kondisi sangat berbalik. Di sini, muai 1 Ramadan sampai akhir penuh dengan lautan umat muslim dari seluruh dunia.
"Ramadan di Mekkah tidak ada rasa duka. Saya merasakan senang, baik itu urusan dunia atau akhirat. Ini motivasi saya, sebab nuansa Ramadan sangat kental ibadahnya. Apalagi jika berada di Masjidil Haram, tidak ada yang saya saksikan kecuali semua orang berlomba-lomba beribadah dan memberikan sedekah," imbuhnya.
Selain itu, Ramadan merupakan bulan yang sangat bagus untuk melakukan sedekah (memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa mengaharap imbal balik). Rata-rata setiap hari, semua orang, tidak peduli apakah orang Arab, Indonesia, Jerman, atau negara lainnya, mereka terus membagi-bagikan makanan atau minuman. Pelaksanaannya pada saat hendak berbuka puasa tiba.
Andaikata seseorang datang ke tanah suci tanpa membawa bekal apa-apa, dipastikan orang tersebut tidak akan kelaparan. Alasannya, hampir semua orang di dalam masjid membagi-bagikan makanan di mana-mana. Artinya, cukup datang dengan badan saja, dijamin pasti kenyang dan tidak kelaparan. Bahkan jika dia sanggup justru bisa pulang ke hotel atau penginapan dengan membawa puluhan makanan.
Khusus untuk menu yang umumnya dibagikan secara gratis adalah kurma. Semua hasil panen kurma terbaik di Arab Saudi dijual secara umum. Mulai dari harga SAR 30 sampai harga SAR 130 per kilogramnya. Umumnya, orang membeli kurma dengan jumlah banyak yang kemudian dibagi-bagikan kepada jemaah yang berada di luar atau dalam Masjidil Haram untuk persiapan berbuka.
Di Masjidil Haram salat sunat Tarawihnya 23 rakaat. Rata-rata semua jemaah yang makmum menikmati dan menghayati setiap bacaan imam. Setiap 1-2 juz surat Alquran dibutuhkan waktu sekitar 2-3 jam dibaca dalam bilangan salat Tarawih. Meski berdiri salatnya lama, hal ini tidak membuat jemaah bosan atau kemudian beranjak pergi.
Lantunan bacaan imam yang sangat merdu menghanyutkan suasana jemaah. Banyak jemaah yang larut dan menangis karena mereka paham dan menghayati makna arti lafaz yang dilantunkan oleh imam. Tidak hanya itu, sebelum masuk masuk pintu masjid, sebagian mereka ada yang sudah menangis karena sudah sangat rindu berjumpa dengan Kabah.
Baca Juga:
- Hadapi Lebaran Carrefour Siapkan Roti Kering 4 Ton
- Korban Meninggal Akibat Rabies di Pesawaran Bertambah
- Kejati Kesulitan Ungkap Oknum Dibalik Pelarian Djusmin
- Aktivitas Perusahaan Sukotjo Bambang Dipindah ke Bekasi