MPR: Sambut Ramadan dengan Semangat Empat Pilar Kebangsaan
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari mengatakan, perbedaan awal Ramadan di Indonesia bukanlah fenomena baru.
Penulis: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hajriyanto Y Thohari mengatakan, perbedaan awal Ramadan di Indonesia bukanlah fenomena baru.
Menurutnya, perbedaan awal Ramadan sudah setua Islam masuk dan berkembang di negeri ini. Perbedaan, kata Hajriyanto, murni hanya terkait metodologi penentuan hilal seiring perkembangan ilmu pengetahuan moderen.
Karena itu, ia mengimbau perbedaan awal Ramadan tidak perlu disikapi berlebihan. Apalagi, disikapi dramatis sedemikian rupa, seakan-akan terjadi perpecahan Umat Islam.
Lebih tidak proporsional lagi, imbuhnya, jika perbedaan penentuan awal Ramadan dikaitkan dengan relasi Umat Islam dan pemerintah.
"Umat Islam Indonesia semakin cerdas, dan pemerintah sebagai wakil negara juga semakin arif bijaksana. Pemerintah tahu mana urusan yang urgen untuk diurus, dan mana yang tidak urgen untuk diurus, serta mana yang tidak boleh dicampuri," tuturnya kepada Tribunnews.com, Senin (8/7/2013).
Hajriyanto mengingatkan pula, Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara teokrasi atau negara agama.
Negara, Hajriyanto menilai, harus mengambil jarak yang tepat dalam relasinya terhadap agama. Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, negara yang Bhinneka Tunggal Ika.
"Kebhinekaan atau kemajemukan ada dalam bentuk keanekaragaman agama, juga kebhinekaan atau keanekaragaman madzhab internal agama. Kebhinekaan dan kemajemukan itu harus dihormati oleh negara," ujarnya.
"Negara tidak boleh terlalu terlibat mengurusi mazhab atau paham keagamaan. Pasalnya, memang soal mazhab bukan urusan negara. Negara ini bukan milik agama tertentu, apalagi aliran mazhab tertentu, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia, apapun sukunya, apapun agamanya, dan bahkan apapun mazhab-nya!" bebernya.
Semua warga negara, papar Hajriyanto, tak peduli apapun agama dan alirannya, wajib dilindungi negara. Tidak ada warga negara kelas satu atau kelas dua, semuanya memiliki persamaan di hadapan negara. Semuanya harus dilindungi negara.
Pembukaan UUD 1945, lanjutnya, menyatakan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya negara ini 68 tahun lalu, adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, apapun sukunya, apapun keyakinannya, apapun agamanya, dan apapun mazhab-nya. Melindungi keselamatan, keamanan, kemerdekaan, kebebasan, dan hak asasinya.
"Marilah kita menyambut 1 Ramadan dengan semangat empat pilar negara yang penuh toleransi, saling menghormati, tenggang rasa, dan dewasa!" ajak Hajriyanto. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.