Jejak Jepang di Masjid Cot Plieng
MASJID Syuhada Cot Plieng merupakan simbol perlawanan Tgk Sjeh Abdul Djalil dan para pengikutnya melawan penjajah Jepang.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM - MASJID Syuhada Cot Plieng merupakan simbol perlawanan Tgk Sjeh Abdul Djalil dan para pengikutnya melawan penjajah Jepang. Masjid yang berdiri di atas lahan seluas satu hektare ini pernah dibakar ketika perang bergolak (1942) dan dibangun kembali pada 1983 atas prakarsa Mahmud Seratawa, seorang tentara Jepang yang selamat dari perang dan kemudian memilih memeluk Islam.
Pembangunan masjid berkapasitas 1.000 jamaah beserta tiga unit asrama dan 12 bilik (kamar) itu menghabiskan dana Rp78 juta yang berasal dari sumbangan pemerintah Jepang. Rumah ibadah yang diresmikan pada 1986 tersebut sudah tiga kali dipugar yaitu pada 2009, 2011, dan 2013 menggunakan dana dari Pemerintah Aceh.
Kini di kompleks masjid yang terletak di Desa Beunot Kecamatan Syamtalira Bayu Kabupaten Aceh Utara berdiri Dayah Al Huda yang dibangun pada 1960-an dan menampung 38 santri di bawah pimpinan Tgk Iskandar AB yang merupakan keturunan kedua dari Tgk Sjeh Abdul Djalil. Disusul dengan pembangunan Panti Jompo Al Huda Syuhada pada 2000 lalu di bawah pimpinan Cut Jamiliah SPd yang menampung 22 orang.
Saat ini oleh Pemerintah Aceh Utara Masjid Syuhada Cot Plieng dijadikan salah satu situs sejarah kategori warisan budaya. Untuk menuju ke tempat ini, warga cukup melalui Jalan Banda Aceh-Medan yang melintasi Desa Beunot. Di persimpangan Jalan menuju ke Komplek Masjid, berdiri tugu yang menjadi peringatan dahsyatnya perjuangan Tgk Sjeh Abdul Djalil beserta para pengikutnya. Di areal masjid warga juga bisa berkunjung dan berziarah ke makam Pahlawan dari Pase itu beserta dua orang istrinya serta menemukan jajaran kuburan massal yang menjadi tempat peristiratan terakhir bagi 89 pengikut setia sang Teungku.
"Pada masa bergolaknya perang tahun 1942, Tgk Sjeh pindah dari Desa Beunot Kecamatan Syamtalira Bayu ke Desa Peumpe Kecamatan Jungka Gajah Kabupaten setempat. Tentara Jepang yang tidak menemukan sosok sang Teungku di Desa Beunot kemudian membakar masjid yang saat sudah dalam keadaan kosong. Warga setempat yang dicekam ketakutan tidak mampu mencegah aksi brutal bangsa penjajah itu," ujar Tgk Iskandar AB yang tidak lain merupakan cucu dari Tgk Sjeh Abdul Djalil.
Ia menjelaskan tentara Jepang yang kemudian mengetahui keberadaan Tgk Sjeh Abdul Djalil kemudian memburunya ke Desa Peumpe, namun upaya itu gagal lantaran sang Teungku sudah pindah ke Desa Meunasah Blang Gampong Teungoh Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe. Di tempat inilah sekira pukul 16.00 WIB atau saat shalat Ashar Tgk Sjeh Abdul Djalil dieksekusi dengan ditembaki, namun peluru yang dilesakkan berkali-kali meleset. Usai shalat sang Teungku berdoa dan kemudian turun dari meunasah menemui para serdadu yang sudah haus darah itu. Dengan sebilah pedang dan hanya seorang diri ia melawan sekitar 40-an tentara Jepang. Dalam perang terbuka itulah sang Teungku syahid, mengembuskan nafas terakhir.
Meski terlihat kurang terurus, namun masjid ini tetap menjalankan fungsinya sebagai rumah ibadah. Dalam bulan suci Ramadhan, kompleks masjid ini menghidupkan bulan penuh berkah ini dengan menggelar shalat tarawih, ceramah, tadarus, serta khalwas. (Serambi Indonesia/nurul hayati)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.