Puasa, Terapi Nafsu untuk Menggapai Akhlak Mulia
ORANG berakhlak mulia karena sehat jiwanya. Sedangkan orang yang tidak bermoral karena sedang sakit jiwanya.
Editor: Anita K Wardhani
KH Cholil Nafis Ph D
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PB NU
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia Pusat
ORANG berakhlak mulia karena sehat jiwanya. Sedangkan orang yang tidak bermoral karena sedang sakit jiwanya.
Karenanya, mengobati jiwa yang sakit tak ubahnya mengobati raga yang sakit. Namun, acapkali jika jiwanya yang sedang sakit, kurang dirasakan oleh dirinya, dibandingkan dengan raga yang sedang terjangkit penyakit.
Sebagaima fisik lahir tidak langsung kuat, besar dan sempurna yang membutuhkan asupan gizi dan vitamin., demikian juga ruh dan akhlak yang akan sempurna melalui bimbingan, pendidikan dan ilmu. Cara mengobati panas badan dengan cara menurunkan panas, demikian juga diri yang cenderung berbuat buruk dengan cara dilatih berbuat baik, menahan keinginan hawa nafsu.
Puasa adalah terapi nafsu yang selalu mengajak pada keburukan untuk menjadi baik. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus dengan meninggalkan makan dan minum dalam waktu sehari, tetapi puasa adalah melatih diri, menahan syahwat buruk untuk meninggalkan dari segala bentuk maksiat yang dilarang oleh Allah SWT.
Rasulullah saw bersabda, "Puasa itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang puasa." (HR Bukhari).
Hadits tersebut menunjukan tentang nilai sebuah puasa dalam mendidik akhlak seseorang. Sebab saat orang melaksanakan ibadah puasa telah mampu membentengi diri dari berbuat jahat dan keji. Ketika berpuasa maka telah mampu menahan diri dari segala bentuk kemungkaran.
Bahkan saat ada seseorang menggodanya untuk bermusuhan maka bentengnya adalah puasa. Inilah nilai suci ibadah puasa sehingga mampu mengendalikan diri karena semata-mata mengharap ridha Allah SWT.
Puasa yang digambarkan bagaikan perisai atau benteng seakan-seakan dalam kondisi peperangan yang mampu menjaga pertahanan dari serangan dan gempuran musuh. Saat orang berpuasa pada dasarnya sedang melakukan penguatan diri dari serangan hawa nafsu yang selalu menjerumuskan pada kenistaan dan kehinaan.
Puasa mampu membentengi diri dari pergolakan jahat yang menyerang nurani dan fitrah. Ketika benteng peperangan mampu mempertahankan diri untuk melawan musuh, demikian juga puasa dapat membentengi diri dari perbuatan dosa.
Ketika perisai manjadi senjata untuk membangun kekuatan diri saat berperang, demikian juga puasa bagaikan baju besi yang dapat menguatkan batin dari ajakan nafsu bejat. Karenanya, saat seseorang yang sedang berpuasa diserang dan diajak berbuat jahat maka tidak otomatis langsung membalasnya dengan kejahatan tetapi cukup mengatakan sedang berpuasa.
Tidak ada guna berpuasa jika tidak mampu meningkatkan moralnya, menyucikan jiwa dan merevitalisasi fitrahnya. Inilah upaya untuk meraih takwa.
Ibnu Hajar Al `Asqalani menyatakan," Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud puasa selain tidak makan dan tidak minum adalah puasa dari maksiat, baik secara ucapan maupun perbuatan." Jika seseorang telah mampu melakukan puasa secara utuh, dimana puasanya dilaksanakan secara jasmani dan rohani, tidak hanya meninggalkan makan dan minum tetapi juga tidak berbuat jahat dan tidak melakukan maksiat.
Puasa akan mengantarkan pada kemuliaan untuk menjadi hamba Allah SWT yang berakhlak mulia. Berakhlak kepada Allah SWT dan berakhlak mulia kepada alam semesta.