Langgar Ini Saksi Sejarah Pangeran Diponegoro Menyusun Strategi
Pangeran Diponegoro bersama beserta pengikutnya menyusun strategi untuk berunding dengan Belanda di Langgar ini.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, MAGELANG- Menyusuri perkampungan padat penduduk di Kota Magelang, bisa ditemukan bangunan- bangunan peribadatan Islam maupun Kristen yang berhubungan erat dengan sejarah Indonesia. Misalnya, langgar atau musala yang mencatat jejak Pangeran Diponegoro.
Sejumlah warga di Kampung Meteseh, Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Jateng, sibuk dengan beragam aktivitas, Selasa (15/7/2014). Di kampung yang terletak tak jauh dari gedung tua Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) II Kedu-Surakarta itu, tak banyak yang mengetahui peninggalan sejarah menarik.
Salah satu tempat yang diyakini menjadi peninggalan Pangeran Diponegoro itu adalah langgar atau musala yang bernama Langgar Agung Mantiasih. Meski tidak secara langsung pernah menjadi tempat beribadat pangeran berkuda itu, setidaknya langgar tersebut ada karena keberadaan Diponegoro beserta pasukannya.
Hal itulah yang diceritakan warga setempat, Suhadi (61), yang mengaku mengetahui cerita sejarah turun temurun tersebut. Suhadi mengatakan, Kota Magelang erat kaitannya dengan sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro dalam mengusir penjajah Belanda. Menurutnya, kota ini menjadi salah satu daerah yang disinggahi Diponegoro, terutama di Mantiasih.
"Nama Meteseh itu berasal dari Mantiasih. Keberadaan langgar ini pun memiliki cerita tersendiri dengan pasukan berkuda Diponegoro," paparnya.
Suhadi menjelaskan, keberadaan langgar yang sekarang ramai untuk kegiatan Ramadan ini bermula dari sebuah bangunan kecil dan sederhana. Bangunan itu dahulu berdinding gedek atau anyaman bambu dan beberapa konstruksi kayu yang mendominasi.
Dia menceritakan, keterkaitan bangunan langgar dengan Pangeran Diponegoro bermula dari zaman penjajahan Belanda. Kala itu, pasukan Pangeran Diponegoro singgah di Kota Magelang, tepatnya di Pulo (pulau, Red) atau sebuah tanah luas di tengah Sungai Progo.
Di tempat itu, Pangeran Diponegoro bersama beserta pengikutnya menyusun strategi untuk berunding dengan Belanda. Hal itu terjadi sekitar bulan Puasa tahun 1830. Selama di Pulo, Pangeran dan pengikut selalu beribadat di sebuah langgar kampung setempat.
"Ini yang diyakini sebagai langgar di Kampung Meteseh, meski artefak atau benda bersejarahnya kurang terlacak dengan baik. Ada juga batu yang dipergunakan untuk salat Pangeran Diponegoro namun kami kurang tahu di mana," kata Suhadi.
Dipindah dan dipugar
Adapun konstruksi bangunan langgar Mantiasih itu juga mengalami perubahan. Bangunan asli yang berdinding gedek, ujar Suhadi, dahulu terletak di sebelah timur bangunan yang berdiri saat ini. Menurutnya, oleh warga setempat bangunan berdinding gedek itu dipindah sedikit ke sebelah barat. "Bangunan langgar lalu dipugar dengan bangunan baru yang terbuat dari tembok. Hal itu terjadi sekitar tahun 1985, dan bertahan sampai sekarang," papar pria bercucu dua dan berputra lima ini.
Pada bulan Ramadan sekarang, banyak kegiatan keagamaan diadakan di langgar bersejarah itu. Seperti pengajian anak-anak dan orangtua, salat tarawih berjamaah, tadarus dan lainnya. Di samping langgar terdapat juga sebuah makam yang dianggap keramat, yakni makan Nyai Roro Utari, yang merupakan leluhur kampung setempat.
Takmir masjid kampung setempat, Tohar Mustofa (55), mengatakan, keterkaitan bangunan Langgar Agung Mantiasih dengan Pangeran Diponegoro ditandai oleh ditemukannya Prasasti Mantiasih di dekat langgar. Di dekat langgar juga dibangun Pendopo Meteseh yang melindungi i sebuah batu lumpang peninggalan Pangeran Diponegoro.
"Keberadaan langgar dan prasasti ini juga berkaitan erat dengan berdirinya Kota Magelang. Bahkan, di sini sering diadakan kegiatan bersifat keagamaan maupun kebudayaan, seperti pagelaran wayang, setiap peringatan HUT Kota Magelang," kata Tohar.
Pemerhati sejarah dan pegiat Komunitas Kota Toea Magelang (KTM), Bagus Priyana (33), mengakui langgar tersebut memiliki nilai sejarah tinggi. Hal tersebut sesuai dengan referensi yang dimilikinya dari buku kisah Pangeran Diponegoro berjudul Kuasa Ramalan, yang ditulis oleh sejarahwan Inggris, Peter Carey.
"Kalau keterkaitan secara langsung langgar itu untuk salat Diponegoro belum tahu persisnya. Namun di buku itu disebutkan adanya langgar kecil yang disinggahi Pangeran Diponegoro dan pasukannya, periode 1830 silam," paparya.
Dia mengatakan, Pulo yang disebutkan oleh warga sebagai tempat Pangeran Diponegoro, memiliki jejak sejarah tinggi bagi keberadaan pahlawan nasional itu. Dari referensi yang dimilikinya, Pulo merupakan tempat perkemahan 800 pasukan Diponegoro dari setiap wilayah. Adapun bangunan perkemahan dibuat dari bambu, dengan atap daun kelapa.
"Di sana setiap hari disembelih lima ekor kerbau untuk memenuhi konsumsi pasukan Diponegoro. Beberapa jejak masih tersisa. Jika Pemkot Magelang jeli, itu bisa jadi objek wisata dan bukti jika Magelang pernah disinggahi Diponegoro," tandas Bagus. (agung ismiyanto)