Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Ramadan

Empat Macam Ayat Tuhan

SATU jalan untuk menelusuri jejak kehadiran dan karya Tuhan adalah melalui Kitab Suci (kitabiyah). Bagi umat Islam tentu saja Alqur'an.

Editor: Anita K Wardhani
zoom-in Empat Macam Ayat Tuhan
Warta Kota/Alex Suban
Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Jakarta. (Warta Kota/alex suban) 

Oleh Komaruddin Hidayat
Rektor UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta

SATU jalan untuk menelusuri jejak kehadiran dan karya Tuhan adalah melalui Kitab Suci (kitabiyah).

Bagi umat Islam tentu saja Alqur'an. Namun Alqur'an sendiri menunjuk paling tidak ada tiga macam ayat-ayat Tuhan yang mesti dibaca dan dikaji.

Ayat  tersebut yaitu ayat-ayat kauniyah, berupa hamparan alam semesta ini. Keindahan dan kebesaran semesta ini merupakan tanda-tanda keindahan dan kebesaran Sang Penciptanya.

Lainnya lagi Alqur'an juga menyatakan ayat Tuhan itu tertulis dalam diri manusia (nafsiyah) yang kadang disebut mikro kosmos atau jagad cilik.

Dalam diri manusia terdapat keunikan luar biasa, yang tak pernah habis-habisnya digali oleh berbagai disiplin ilmu.

Puluhan ilmu pengetahuan menempatkan manusia sebagai obyek kajiannya, dan selalu saja berkembang dari waktu ke waktu serta memperolah temuan baru, khususnya dalam bidang neurologi dan biomolekuler.

Berita Rekomendasi

Satu lagi ayat-ayat kebesaran Tuhan yang terlihat dalam peristiwa-peristiwa sejarah (tarikhiyah).

Berulangkali Alqur'an menyuruh umat Islam agar mempelajari sejarah untuk mengetahui perjalanan pasang-surut sebuah bangsa. Kekuasaan Allah akan terlihat dalam peristiwa-peristiwa sejarah bagi mereka yang mempelajarinya dengan melibatkan mata hati (bashirah).

Keempat macam ayat-ayat Tuhan itu saling menafsirkan, menjelaskan, dan menguatkan, satu terhadap yang lain.

Di situlah satu di antara keunikan Alqur'an, yang minta umat Islam tidak berhenti membaca lembaran-lembaran Alqur'an, melainkan juga mempelajari sains yang tertsimpan dan tertulis di alam semesta untuk membuka dan mengetahui pesan dan kebenaran ayat-ayat ketabiyah, kauniyah, nafsiyah dan tarikhiyah.

Dengan demikian bagi umat Islam tak ada hambatan mencari ilmu pengetahuan di manapun dan kepada siapapun karena semua ilmu itu sumbernya dari Allah.

Kalaupun terjadi konflik antara bangsa dan umat beragama, biasanya bukan bersumber dari ilmu pengetahuan, tetapi dari dahaga dan ambisi politik serta  kekuasaan.

Bagi mereka yang mendalami ilmu kedokteran dan Alqur'an, akan sangat mudah mempertemukan atau mengintegrasikan statemen kitab suci dan proses kejadian dan pertumbuhan janin. Bahkan belakangan ini ditemukan data kuantitatif yang parallel antara jumlah kata daratan dan lautan dalam Alqur'an, berbanding sama dengan luasnya lautan dan daratan pada planet bumi ini.
Atau pernyataan Alqur'an bahwa di dalam lautan terdapat pulung dengan air tawar yang jernih dan segar, membuat beberapa peneliti terkaget-kaget, bagaimana bisa Alqur'an yang terhimpun di abad ke-6 dan Muhammad saw  yang hidup  di padang pasir mampu membuat pernyataan demikian.

Demikianlah, kemukjizatan Alqur'an sebagai kitab tertulis memang merupakan konsumsi dan obyek penalaran, bukannya mukjizat yang menantang penglihatan sebagaimana mukjizat para Rasul sebelumnya. Konsekuensi dari mukjizat kitabiyah adalah mendorong riset dan tafsiran atas kehendak Tuhan yang tersimpan di dalam teks.

 Makanya satu di antara ciri budaya Islam adalah budaya teks. Alqur'an ditafsirkan oleh Hadith, yaitu teks himpunan sabda Rasul Muhammad, sementara Alqur'an dan Hadith ditafsirkan terus-menerus oleh para ulama sehingga melahirkan sekian banyak mazhab.
Dalam bidang teologi, filsafat, tasawuf, fiqih, politik, semuanya terdapat mazhab (school of thought) sebagai produk penafsiran atas ayat-ayat kitabiyah dan ayat tarikhiyah.  Semua mazhab itu menunjukkan kekayaan, kebebasan, dan kreativitas ulama dalam upaya memahami pesan ayat-ayat Tuhan yang tumbuh dalam dunia Islam.

Mereka sepakat pada sumber pokok ajaran Islam, yaitu Alqur'an yang mengajarkan tauhid, namun berbeda tafsiran ketika menyangkut kontekstualisasi mengingat perbedaan zaman dan ruang serta masyarakat yang dihadapi. Ketika umat Islam berkembang di daerah bahari atau sebagian umat Islam  hidupnya lebih banyak melakukan penerbangan dari negara yang satu ke negara lain, tentu Kitab Fiqih yang disusun oleh penduduk di wilayah padang pasir dalam beberapa hal tidak cocok. Misalnya dalam hal bagaimana menentukan waktu salat dan puasa. 

Begitupun fiqih politik dalam sebuah negara kesultanan Islam, sistim republik seperti di Indonesia, atau pemerintahan sekuler seperti halnya di Barat, diperlukan tafsiran kontekstual terhadap ayat-ayat kitabiyah dan tarikhiyah. Karena namanya ijtihad dan tafsiran, hasilnya tidak absolut, namun merupakan usaha optimal berdasarkan nalar dan ayat-ayat Tuhan untuk meraih kebenaran.
Semua itu pada urutannya akan memperkaya khazanah pengalaman dan pengetahuan sejarah bagaimana manusia membaca ayat-ayat Tuhan untuk mendapatkan kebenaran dan memantapkan iman.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas