Antara Pinjaman dan Milik
Namanya ilmu dan ketrampilan tidak selamanya melekat dan bisa dikuasai serta diperintahkan kapan saja, di mana saja untuk menolong pemiliknya.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Prof Dr Komaruddin Hidayat, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
KATA milik, dugaan saya berasal dari bahasa Arab. Malik artinya penguasa atau raja. Umat Islam dalam salatnya selalu mengucapkan "maliki yaumiddin", yang menguasai atau merajai hari kemudian.
Jadi, pemilikan artinya penguasaan. Kalau kita memiliki sesuatu, artinya kita menguasai sesuatu itu sehingga bisa berbuat apa saja terhadap apa yang kita miliki itu sesuai dengan sifatnya
Kalau seseorang memiliki mobil, dia memiliki kekuasaan menggunakan mobil itu untuk keperluan yang dia kehendaki, umumnya untuk mengantarkan orang atau barang. Kalau seseorang memiliki makanan, dia mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk mengonsumsinya agar kenyang dan sehat.
Demikianlah, dalam kata "memiliki" terkandung makna seseorang menjadi "malik" atau raja. Barang atau orang yang dimiliki merupakan "budak" atau "pesuruh" atau "objek" yang bisa dimanfaatkan dan diperintah sesuai kehendak majikannya.
Tanpa disadari kita memiliki klaim terhadap anak, harta, ilmu, teman, jabatan, dan entah apa lagi. Kesemuanya itu milik kita. Kita menguasai kesemuanya. Padahal, benarkah kita mampu mengendalikan, memerintah, dan menguasai terhadap klaim-klaim tadi?
Kita menyimpan uang di bank, sesungguhnya kita tidak lagi memiliki sepenuhnya uang itu. Boleh saja mengaku memilikinya, tetapi sesungguhnya kendali posisi uang tak lagi berada di tangan kita.
Inilah yang tengah terjadi di Amerika Serikat (AS) dan berulangkali terjadi di Indonesia. Masyarakat menyetorkan uang ke bank lalu ditukar dengan sertifikat bukti penyetoran namun ujungnya uang itu malah lenyap pergi tidak karuan.
Jadi, benarkah kita masih memiliki uang yang sudah berada di tangan orang lain? Bagaimana dengan anak-anak? Semakin anak tumbuh besar, penguasaan orangtua terhadap mereka semakin mengecil.
Terlebih ketika tingkat pendidikan dan kekayaan anak melebihi orangtuanya. Itu yang kadang terjadi pada keluarga artis. Ketika anaknya sudah popular, banyak duit, jadi selebritis, orangtua tak lagi memiliki keberanian menasihati dan mencegah ketika anaknya memasuki gaya hidup glamor dan bebas.
Jadi, apa makna kepemilikan anak dalam konteks demikian? Memiliki jabatan? Itu lebih pendek lagi durasinya. Ibarat baju, jabatan bukannya milik yang melekat selamanya, tetapi sekadar dipakai sepanjang berlakunya SK.
Itu pun hanya valid selama jam-jam kantor. Dalam relasi sosial, sesungguhnya setiap orang memiliki multijabatan dan multiperan yang berubah-rubah. Ketika di rumah mungkin saja jabatan yang melekat dan mempengaruhi perilakunya sebagai "suami" atau "istri".
Tetapi begitu berhadapan dengan anak akan berubah menjadi "ayah" dan ketika bertemu orangtua berubah lagi sebagai "anak", lalu ketemu mertua sebagai "menantu". Sewaktu sakit berjumpa dokter sebagai "pasien", dan seterusnya.
Jadi berbagai jabatan, lebel dan identitas tadi ada yang sifatnya kontraktual, sosial dan psikologis. Bahkan namapun bisa berganti-ganti kalau mau. Lalu kalau ditanya "Siapa aku?", "Who am I?" Jawaban yang dimunculkan pasti akan beragam dan semua itu pasti tidak mampu menjelaskan "keakuan" secara utuh dan tuntas.
Yang namanya ilmu dan ketrampilan tidak selamanya melekat dan bisa dikuasai serta diperintahkan kapan saja, di mana saja untuk menolong pemiliknya. Adakalanya kita lupa terhadap ilmu yang pernah kita ketahui.
Sewaktu sakit gigi atau perut, misalnya, nalar sulit berpikir jernih. Ketika badan sakit berbagai ketrampilan fisik juga ikut terganggu. Pikiran, emosi dan ketrampilan fisik tidak ada yang berjalan konstan. Semuanya fluktuatif.
Yang konstan dan tak pernah berjalan surut adalah bertambahnya usia. Jadi, sesungguhnya apa yang permanen dan abadi dimiliki seseorang? Lalu, siapa subyek yang memiliki itu?
Kepemilikan itu memiliki hirarki, memiliki tingkatan-tingkatan makna. Tak ada kepemilikan abadi. Dalam konteks agama, hanya Tuhan Sang Pemilik sejati. Manusia hanya dipinjami sesaat saja. Diberi hak guna selama hidupnya.
Berbahagialah mereka yang selalu sadar semua ini pinjaman, anugerah dan amanah untuk disyukuri serta difungsikan untuk memperbanyak amal kebajikan. Ketika suatu saat diambil kembali oleh Sang Pemiliknya, mereka merasa lega dan bersyukur karena telah memanfaatkan sebaik mungkin dan beban amanahnya sudah dikurangi atau ditarik kembali oleh Yang Empunya.
Untuk melatih kesiapan mental, ketika memiliki jabatan mesti sadar bahwa itu amanah dan durasinya sesaat. Gunakanlah sebaik mungkin untuk menyumbangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi sesamanya. Jabatan itu digilir di antara manusia, sebagaimana juga umur, ibarat rumah yang digilir dari generasi ke generasi untuk ditempati.