Menanam Benih Perdamaian
SANGAT mudah menemukan korelasi ibadah puasa dengan semangat perdamaian dalam kehidupan. Hakekat puasa adalah pengendalian diri.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Dr Mutohharun Jinan, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
SANGAT mudah menemukan korelasi ibadah puasa dengan semangat perdamaian dalam kehidupan. Hakekat puasa adalah pengendalian diri. Pengendalian diri melakukan hal-hal yang diperbolehkan, pengendalian diri terhadap hal-hal yang secara kodrati sangat menyenangkan, dan pengendalian dari segala bentuk kemaksiatan dan ketercelaan.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabi Muhammad SAW menyarankan apabila seseorang sedang berpuasa kemudian datang orang lain mengajaknya bertengkar, hendaklah orang yang berpuasa itu berkata, "Saya sedang berpuasa." Perkataan, "Saya sedang berpuasa," mengandung makna pengendalian.
Jangan sampai ada keributan dan pertengkaran, apalagi peperangan, karena itu semua adalah perbuatan yang harus dihindari untuk menjaga kedamaian. Spirit perdamaian dapat dilacak dari pengertian kata Islam. Satu di antara makna kata Islam adalah damai, selamat, dan sejahtera.
Dari pengertian ini dapat dipahami, sesuai namanya, Islam adalah agama kedamaian. Dengan demikian Islam adalah agama yang menjunjung tinggi moralitas, saling menghormati, menekankan solidaritas, dan menganjurkan kasih sayang antarsesama manusia.
Perdamaian antaraumat manusia akan sulit ditegakkan tanpa adanya landasan akhlak kemanusiaan yang bersih dari kebohongan, rasa dengki, dan berbagai kecurigaan. Dalam Al-Quran diisyaratkan perang sejatinya bukan pilihan yang menyenangkan bagi Nabi dan kaum muslim. Mereka sebenarnya tidak suka atau berperasaaan membenci peperangan (QS. Al-Baqarah/2: 216).
Karena itu, sepanjang hayatnya kehidupan Nabi dan kaum muslim terhiasi perilaku kedamaian. Nabi bahkan menanamkan kesabaran kepada kaum muslim untuk menghadapi berbagai cercaan dan penderitaan karena perlakuan orang-orang kafir. Barulah setelah kaum kuffar Quraisy berprilaku sangat keterlaluan terhadap umat Islam, mengusir dan memerangi uam Islam, turunlah izin dari Allah untuk berperang membela diri (QS. Al-Hajj/22: 39-40).
Lalu, bagaimana menanamkan sikap dan perilaku yang mengedepankan perdamaian dalam kehidupan ini? Tentu hal ini tidak mudah mengingat saat ini sudah begitu banyak aspek yang dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia terutama anak-anak. Budaya kekerasan telah menjadi bagian dari tayangan sehari-hari.
Pembiasaan sikap dan prilaku damai dapat dimulai dari yang sederhana. Dengan menunjukkan rasa hormat pada orang-orang di sekitar, menghargai perbedaan pendapat, dan terbuka terhadap kritik, serta berlaku adil kepada setiap orang (termasuk kepada orang yang tidak disukai sekalipun).
Dalam hidup bersama di tengah masyarakat ini Islam mengajarkan supaya antara satu dan lainnya tidak saling bermusuhan, mendengki, dan membelakangi. Sebab hidup dengan landasan sikap seperti itu sungguh akan menguras segalanya, merusak jiwa-raga, tidak mendatangkan ketenangan, malah membawa kekacauan, dan ujungnya adalah kehancuran.
Perdamaian mengandung banyak kebaikan dan menjadikan hidup ini indah. Hidup dalam semangat perdamaian dan persaudaraan tentu lebih indah daripada hidup dalam suasana permusuhan dan perpecahan.
Oleh karena itu Islam mengajarkan kepada para pemeluknya seorang muslim tidak boleh menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari, apabila bertemu saling membuang muka, dan tidak bertegur sapa. Karena itu, siapa yang mengusahakan perdamaian hanya mengharapkan keridhaan Allah, bukanlah perbuatan sia-sia, tetapi merupakan perbuatan terhormat dan berpahala besar (QS An-Nisaa/4: 114).
Hidup dalam suasana yang penuh kedamaian di masyarakat menjadi harapan setiap orang. Untuk itu, setiap orang sudah selayaknya menebarkan pesan perdamaian kepada orang lain di lingkungannya.
Di dalam Al-Quran disebutkan pujian bagi mereka yang memberi kedamaian terhadap orang, bahkan terhadap orang yang jahil sekalipun. Hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah mereka yang berjalan di bumi secara rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa (memperlakukan mereka dengan kejahilan) mereka tetap menunjukkan sikap penuh kedamaian. (QS. Al-Furqan/25: 63).